Bid’ah. Sebuah kata yang ma’ruf di telinga kita. Ia juga merupakan kata yang mampu menjadikan sebagian orang merasa risih jika membahasnya. Padahal, sungguh hal ini mesti dipahami oleh kaum muslimin secara baik, mengingat perkara ini berkaitan dengan syarat diterimanya amalan seseorang di hadapan Allah Azza wa Jalla.
Pembahasan mengenai perkara ini, bisa kita dapatkan dalam banyak kitab yang ditulis oleh para ulama. Hal ini karena mereka begitu memahami akan kompleks dan urgennya masalah ini untuk dijelaskan kepada umat.
Saudaraku para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dalam edisi kali ini (kemudian dilanjutkan pada beberapa edisi mendatang), kami akan membahas beberapa poin mengenai bid’ah. Kami mengharapkan agar para pembaca sekalian dapat memahaminya, meskipun mungkin dalam beberapa pembahasan nantinya membutuhkan perhatian dan konsentrasi yang lebih. Semoga Allah memberikan kemudahan dalam memahami agama ini. Amin
Agama Islam Telah Sempurna
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggalkan kita di atas tuntunan yang jelas, tuntunan yang terang berderang, di atas petunjuk yang sempurna dan paripurna. Beliau meninggalkan kita di atas syariat yang mencukupi segala keperluan yang dibutuhkan oleh makhluk.
Hal ini telah di tegaskan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya :
اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah: 3).
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan nikmat Allah yang paling besar, yaitu ketika Allah menyempurnakan agama bagi manusia sehingga mereka tidak lagi membutuhkan agama selain Islam, tidak membutuhkan seorang nabi pun selain nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah Allah ta’ala mengutus beliau sebagai nabi penutup para nabi dan mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, dinukil dari ‘Ilmu Usul Bida’, Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi, 17)
Begitu pula Nabi kita Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
“Aku tinggalkan kalian dalam suatu keadaan terang-benderang, siangnya seperti malamnya. Tidak ada yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali ia pasti celaka.” (HR. Ahmad). Sahabat Abu Dzar al-Ghifari berkata:
تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ إِلاَّ وَهُوَ يَذْكُرُ لَنَا عِلْمًا
“Rasulullah wafat meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang terbang di udara melainkan beliau telah mengajarkan ilmunya kepada kami.” (HR. Thabrani)
Bahkan kebenaran dan kesempurnaan agama islam juga dipersaksikan oleh musuh-musuh islam. Seorang yahudi berkata kepada Salman Al Farisi radhiallahu ’anhu (dengan nada mengejek) : “Nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu hingga cara buang hajat!”. Salman menjawab (dengan penuh bangga): “Benar, beliau telah melarang kami untuk menghadap kiblat ketika buang air besar atau buang air kecil, dan beliau melarang kami untuk istinja’ (bersuci/membersihkan kotoran) dengan menggunakan tangan kanan dan istinja’ dengan kurang dari tiga batu atau istinja’ dengan kotoran atau tulang.” (HR. Muslim)
Maka berdasarkan keterangan di atas, bisa kita ambil kesimpulan betapa sempurnanya syariat islam, sehingga penambahan atau pengurangan atas syariat islam tanpa dalil dari al-Qur’an atau as-Sunnah menunjukkan pelecehan terhadap syariat, yang secara tidak langsung pelakunya menganggap bahwa syariat islam ini belum sempurna, waliya’udzu billah.
Syarat Diterimanya Amal
Seseorang yang hendak beramal hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini telah disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat: :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatu pun.” (QS. Al Kahfi [18] : 110)
Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Inilah dua rukun diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (mutaba’ah) .”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits innamal a’malu bin niyat [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul Hadits Al Qohiroh).
Jadi, sekali lagi, sebuah amalan dapat diterima jika memenuhi dua syarat ini yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (mutaba’ah) . Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, maka amalan tersebut tertolak.
DEFINISI BID’AH
Secara Bahasa, Bid’ah berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)
Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala :
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman-Nya :
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. (Lihat Lisanul ‘Arab, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah)
Secara Istilah, Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah :
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi).
Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah :
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan :
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah). Wallahu A’lam.
(Insya Allah Bersambung)
Selengkapnya...
Rabu, 29 April 2009
Bid’ah : Kenali dan Jauhi ! (1)
Seputar Shalat Jama’ dan Qashar
Seputar Shalat Jama’ dan Qashar
Islam adalah Agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Maksudnya, Islam adalah agama yang sesuai dengan kondisi dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Pada keadaan normal, berlaku hukum ‘azimah (ketat). Dan pada keadaan tidak normal, maka Islam mengakomodirnya dengan rukhsah (keringanan/kemudahan) sehingga syariat tetap dapat ditunaikan.
Sungguh, sebuah hal yang ironis jika hari ini kita tidak tahu akan berbagai macam kemudahan dalam Islam sehingga kita merasakan beratnya menjalankan agama ini. Padahal kemudahan tersebut bahkan mencakup berbagai aspek dalam kehidupan kita, baik itu dalam hal aqidah, ibadah, syariat maupun muamalah. Telah banyak dalil dari al-Qur’an dan As-Sunnah yang menerangkan kepada kita akan hal ini. Di antaranya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al Baqarah : 185). Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda : ” Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). ....” (HR. Bukhari).
Pada edisi kali ini, kami akan membahas salah satu di antara berbagai kemudahan dalam agama ini, yakni shalat jama’ dan qashar. Semoga Allah memberikan taufiqNya.
SHALAT JAMA'
Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama' taqdim dan jama' ta'khir.[ Lihat Fiqhus Sunnah 1/313-317].
Jama' taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan 'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. [Lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177].
Menjama' (menggabungkan) shalat boleh dilakukan karena beberapa sebab, di antaranya :
[1]. Safar (Perjalanan).
Dari Anas radhiallahu ‘anhu berkata, adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila akan bepergian sebelum matahari bergeser ke arah barat, beliau menangguhkan shalat dzuhur kemudian (setelah tiba waktu ashar beliau singgah (di suatu tempat), lalu menjama' keduanya dan apabila matahari tergelincir sebelum berangkat, maka beliau shalat dzuhur, kemudian berangkat." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Tabuk apabila akan bepergian sebelum matahari tergelincir bergeser ke arah barat, Rasulullah mengakhirkan shalat dzuhur hingga menjama'nya dengan shalat ashar, beliau mengerjakan keduanya secara jama'. Apabila akan berangkat sebelum maghrib Rasulullah mengakhirkan hingga mengerjakannya dengan shalat isya' yaitu menjama'nya dengan maghrib dan apabila akan berangkat setelah maghrib, Rasulullah menjama' shalat isya dengan shalat maghrib." (HSR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
[2]. Hujan.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjama' antara dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya' di Madinah bukan karena takut dan bukan (pula) karena hujan." (HR. Muslim).
Riwayat di atas menunjukkan bahwa menjama' shalat karena hujan sudah dikenal pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, andaikata tidak demikian tentu tidak bermanfaat menafikan hujan sebagai sebab bolehnya menjama' shalat. Demikian menurut penjelasan Syaikh al-Albani dalam Irwa-ul GhaIil III: 40.
[3]. Kepentingan yang Mendesak.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjama' shalat dzuhur dengan shalat ashar di Madinah bukan karena takut dan bukan (pula) karena safar." Abu Zubair bertutur, "Saya pernah bertanya kepada Sa'id, "Mengapa Rasulullah berbuat demikian itu?", maka jawabnya, "Saya pernah bertanya kepada lbnu Abbas sebagaimana yang engkau tanyakan kepadaku ini, maka jawab Ibnu Abbas, "Rasulullah tidak ingin memberatkan seorangpun dari kalangan ummatnya." (Shahih : Shahihul Jami'us Shaghir no: 1068).
Namun, dalam kondisi di atas, Imam Nawawi rahimahullah berkata : "Sejumlah ulama' berpendapat bolehnya menjama' di waktu muqim karena ada hajat (mendesak) (hukumnya) boleh, asalkan tidak menjadikannya sebagai kebiasaan (Lihat Syarh Muslim, Imam Nawawi 5/219).
Menjama’ Shalat Jum’at dan Shalat Ashar
Adapun menjama’ shalat jum'at dengan ashar, maka hal ini tidak diperbolehkan dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama' antara Dhuhur dan Ashar.
Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'. Jum'at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ (menggabungnya) dengan shalat lain. (Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378).
Adapun tentang shalat jumat dalam safar, kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat jum'at bersama mereka. [Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370].
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar [Lihat : Hajjatun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam Kama Rawaaha Anhu Jabir -radhiallahu anhu, Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73].
Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum'at dan menggantinya dengan Dhuhur.[Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216].
SHALAT QASHAR
Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat. [Lihat Tafsir Ath-Thabari 4/244, Al Mu'jam Al Washit hal 738].
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, artinya : ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir" [QS. An-Nisaa': 101].
Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar bin Kaththab radhiallahu anhu tentang ayat : "Jika kamu takut di serang orang-orang kafir", padahal (saat ini) manusia telah aman ? Sahabat Umar radhiallahu anhu menjawab : Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab : (Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah tersebut. [HR. Muslim, Abu Dawud dll. Lihat Al-jami'li Ahkamil Qur'an, Al- Qurthubi 5/226-227]
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata : Aku menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman :Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu." [QS. Al-Ahzaab : 21]. (HR. Bukhari dan Muslim).
Jarak Safar Untuk Qashar Bagi Musafir
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menentukan jarak musafir yang membolehkan untuk mengqashar shalat. Mazhab Hanafi menentukan jaraknya minimal perjalanan tiga hari tiga malam dan tidak mesti perjalanan itu dari pagi sampai sore, tetapi cukup dengan perjalanan dari pagi sampai tergelincir matahari. Sementara jumhur ulama menentukan jarak perjalanan yang membolehkan qashar itu perjalanan selama dua hari atau dua marhalah dengan perjalanan berbeban. Menurut DR. Wahbah az-Zuhaili, jarak perjalanan tersebut ditaksir empat barid atau 16 farsakh atau 48 mil. Satu mil sama dengan 3500 hasta. Ini ditaksir 89 km atau tepatnya 88,704 km.
Sebagian ulama lainnya, seperti Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata : Tidak ada batasan jarak tertentu dengan ukuran kilometer atau marahil. Karena ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan safar dalam Al-Qur`an berkaitan dengan qashar shalat ataupun kebolehan berbuka (tidak puasa) di bulan Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan safar secara mutlak, tanpa menetapkan batasannya.
Dalam hal ini, Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata : ”Dalam suatu nazham (sya’ir kaidah fiqh) disebutkan : ”Setiap perkara yang timbul dan tak ada ketentuan syara', maka lindungilah dengan ketentuan adat (kebiasaan) suatu tempat ('urf)".
Jadi, setiap itu disebut safar menurut kebiasaan (‘urf) dan menurut pengertian syar’i, berarti itulah safar, baik jaraknya jauh ataupun dekat. Perjalanan tersebut safar menurut kebiasaan yang dikenali di tengah manusia. Dari sisi syar’i memang orang yang menempuhnya bertujuan untuk safar. Karena terkadang kita dapati ada orang yang menempuh jarak jauh bukan untuk safar, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : “Terkadang seseorang keluar dari negerinya untuk berburu. Lalu ia tidak mendapatkan buruannya hingga ia terus berjalan mencari-cari sampai akhirnya ia tiba di tempat yang sangat jauh. Ternyata di akhir pencariannya ia telah menempuh jarak yang panjang, ratusan kilometer. Kita menganggap orang ini bukanlah musafir, padahal bila orang yang keluar berniat safar dengan jarak yang kurang daripada yang telah ditempuhnya telah teranggap musafir. Tapi pemburu ini keluar dari negerinya bukan bertujuan safar sehingga ia bukanlah musafir. Berarti yang namanya safar harus menurut ‘urf (adat masyarakat) dan sesuai pengertian syar’i. (Lihat Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 227)
Batas Wilayah Mengqashar Shalat
Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. [Lihat Al-Wajiz, Abdul Adhim Al-Khalafi 138]. Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Safar itu dimulai dari keluarnya seseorang dari negeri/daerahnya, terhitung dari batas daerahnya.
Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.
Berkata Anas radhiallahu anhu : Aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamdi kota Madinah empat raka¡¦at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka'at" .[HR. Bukhari dan Muslim].
Sampai Kapan Mengqashar Shalat ?
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk di dalamnya imam empat berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk meng-qashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, di antaranya : Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari meng-qashar shalat. (HR. Bukhari).
Dari dalil ini jelaslah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir selama mereka mempunyai niat untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut. [Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa'ul Ghalil Syaikh Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312].
Jama' Dan Sekaligus Qashar
Tidak ada kelaziman antara jama' dan qashar. Musafir disunnahkan mengqashar shalat dan tidak harus menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama' sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada', yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama [Lihat Sifat haji Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam karya Al-Albani]. Dan beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam pernah melakukan jama' sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk. [HR. Muslim. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-309]. Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam selalu melakukan jama' sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan.[Lihat As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 181. Pendapat ini adalah merupakan fatwa para ulama termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz].
Musafir Shalat Di Belakang Muqim
Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang muqim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat di belakang imam yang muqim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya diqashar (dua raka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah : Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya : Kami melakukan shalat empat raka'at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka'at ? Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab : Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”¨ (HSR.Ahmad, Lihat Irwa'ul Ghalil no.571 dan Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani 317).
Musafir Menjadi Imam Orang Muqim
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang muqim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang muqim meneruskan shalat mereka (setelah salam) sampai selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia hendak shalat qashar. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam berkata: Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir. (HR. Abu Dawud). Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam. [Lihat Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269].
Wallahu A’lam.
Selengkapnya...
Waktu – Waktu Shalat
Mengerjakan shalat pada waktunya termasuk amalan yang paling dicintai oleh Allah. Sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu kepada Sa’ad bin Iyas. Beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai Allah ‘Azza wa Jalla?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya” kemudian aku berkata, “Kemudian apa?”. Beliau berkata, “Berbakti kepada kedua orang tua”. Kemudian aku berkata, “Kemudian apa?”. Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah” (HR. Bukhari [527] dan Muslim [85]).
Hadits di atas mengandung dorongan agar menjaga shalat di waktu-waktu yang telah ditentukan untuk melakukannya. Sedangkan yang dimaksud shalat pada waktunya adalah mengerjakannya di waktu yang telah ditentukan.
Batasan Waktu Shalat
SHALAT ZHUHUR : Dari sejak tergelincirnya matahari ke arah barat (zawal) sampai bayangan benda sama panjang dengan tingginya. Imam Malik dan sekelompok ulama yang lain berpendapat apabila bayangan benda sudah sama panjang dengan tingginya maka waktu ashar sudah masuk namun waktu zhuhur belum dianggap keluar, bahkan waktu untuk shalat zhuhur masih berlaku seukuran lamanya seseorang melakukan shalat empat rakaat untuk menunaikan shalat zhuhur, dan dia tidak dinilai melakukan shalat di luar waktu yang semestinya. Sedangkan Imam Syafi’i demikian juga an-Nawawi berpandangan bahwa waktu terakhir shalat zhuhur adalah apabila bayangan benda sama panjang dengan tingginya tanpa ada waktu tambahan sesudahnya seukuran shalat empat rakaat (Syarah Nawawi li Nawawi, 3/420, lihat juga Subul as-Salam, 2/6. cet. Dar Ibn al-Jauzi).
SHALAT ‘ASHAR : Dari sejak bayangan benda sama panjang dengan tingginya hingga terbenam matahari. Waktu ‘Ashar ada dua macam : waktu jawaaz/boleh shalat dan waktu dharurah/terjepit. Waktu jawaaz sejak bayangan benda sama panjang dengan tingginya hingga matahari tampak menguning. Apabila matahari sudah menguning maka waktu itu adalah waktu yang boleh tapi makruh, melakukan shalat ketika itu tetap dinilai sah dan belum dianggap keluar waktu (lihat Syarah Nawawi, 3/420). Shalat ‘ashar yang sengaja dikerjakan di saat matahari sudah menguning disebut sebagai shalatnya orang munafiq. Adapun waktu dharurah berakhir dengan terbenamnya matahari.
SHALAT MAGHRIB : Dari sejak matahari tenggelam (kurang lebih selama 35 menit, sebagaimana dikatakan oleh Majid al-Hamawi dalam ta’liqnya terhadap Matn al-Ghayah wa at-Taqrib hal. 59, kemudian setelah itu waktu yang makruh) sampai hilangnya warna kemerahan di langit
SHALAT ‘ISYA : Dari sejak hilangnya warna kemerahan di langit sampai pertengahan malam, ini disebut waktu jawaaz/boleh atau waktu mukhtar/terpilih (sebagian yang lain berpendapat sampai sepertiga malam pertama). Sedangkan waktu dharurat terus berjalan sampai datangnya fajar/waktu subuh (sebagian yang lain berpendapat ini masih termasuk waktu jawaz, namun apabila ditunda sampai menjelang adzan subuh maka hukumnya makruh).
SHALAT SUBUH : Awal waktunya sejak terbitnya fajar shadiq (yaitu fajar kedua, kurang lebih 20 menit setelah fajar pertama). Jika sengaja ditunda hingga muncul warna kemerahan di langit maka makruh. Dan terakhirnya adalah ketika terbitnya matahari (pembahasan ini disarikan dari al-Wajiz, hal. 60-62, al-Munakhkhalah, hal. 33 dengan sedikit penambahan dan perubahan, lihat juga Matn al-Ghayah wa at-Taqrib, hal.58-59).
Dalil-dalil ketentuan di atas adalah hadits-hadits berikut ini :
[1] Hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah didatangi Jibril ’alaihi salam. Jibril berkata kepada beliau, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Zhuhur ketika matahari sudah tergelincir. Kemudian ia datang lagi di waktu ‘Ashar. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat ‘Ashar ketika bayangan segala sesuatu sama panjang dengan tingginya. Kemudian ia datang lagi di waktu Maghrib. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Maghrib ketika matahari sudah tenggelam. Kemudian ia datang di waktu ‘Isya. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Isya ketika warna merah di langit telah hilang. Kemudian ia datang di waktu Shubuh. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Shubuh ketika fajar telah terbit, atau dia berkata, ketika fajar telah terang. Keesokan harinya Jibril datang lagi di waktu Zhuhur. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Zhuhur ketika bayangan benda sama dengan tingginya. Kemudian ia datang di waktu ‘ashar. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat ‘Ashar ketika bayangan benda dua kali tingginya. Kemudian ia datang di waktu maghrib sama sebagaimana kemarin. Kemudian dia datang di waktu Isya. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka nabi mengerjakan shalat ‘Isya ketika separuh malam hampir berlalu, atau dia berkata ketika sepertiga malam telah berlalu. Kemudian ia datang di waktu fajar sudah sangat terang. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat shubuh. Kemudian Jibril berkata, “Di antara dua waktu inilah waktu untuk shalat.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi, shahih. Lihat al-Irwa’ 250, dinukil dari al-Wajiz hal. 59-60).
[2]. Hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waktu zhuhur adalah apabila matahari sudah tergelincir [ke barat] sampai panjang bayangan seorang lelaki sama panjang dengan tingginya, selama waktu ashar belum tiba. Waktu ashar adalah selama matahari belum menguning. Waktu shalat maghrib adalah selama warna merah [di langit] belum hilang. Sedangkan waktu shalat Isya berlangsung hingga separuh malam yaitu pertengahannya. Adapun waktu shalat shubuh adalah sejak terbitnya fajar, demikian seterusnya selama matahari belum terbit. Apabila matahari sudah terbit tahanlah dari melakukan shalat. Karena sesungguhnya matahari itu terbit di antara dua tanduk syaitan.” (HR. Muslim [612/1387]).
[3] Hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Anas berkata; Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (tentang orang yang mengakhirkan shalat ‘Ashar hingga matahari berada di antara dua tanduk syaitan, pent), “Itu adalah shalat orang munafik, dia duduk sambil mengamat-amati matahari. Sampai apabila matahari telah berada di antara dua tanduk syetan maka diapun mengerjakan shalat 4 raka’at dengan gerakan shalat yang amat cepat. Dia tidak mengingat Allah kecuali amat sedikit.” (HR. Muslim [622], Syarah Nawawi 3/431).
Waktu Shalat Yang Disukai/Mustahab
Di antara waktu – waktu shalat yang telah disebutkan di atas, terdapat waktu-waktu yang disenangi atau dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengerjakannya. Waktu – waktu tersebut adalah :
[1] Disunnahkan mengerjakan shalat Zhuhur di awal waktu namun menundanya jika panas matahari sangat terik.
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu’anhu, dia berkata : Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat zhuhur ketika matahari mulai bergeser ke barat (HR. Muslim [618]). Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan disunnahkan mengerjakan shalat zhuhur di awal waktu, dan inilah pendapat yang dipegang oleh asy-Syafi’I dan jumhur (mayoritas ulama).” (Syarh Nawawi, 3/429).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila panas sangat terik maka tunggulah sampai agak dingin untuk mengerjakan shalat, karena sesungguhnya panas yang sangat terik itu berasal dari pancaran panas Jahannam” (HR. Bukhari [536] dan Muslim [615]). Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa perintah untuk menunda shalat hingga cuaca agak dingin adalah perintah anjuran/istihbab (lihat Fath al-Bari, 2/20).
[2] Disunnahkan menyegerakan shalat ‘Ashar.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu shalat ‘Ashar dalam keadaan matahari masih cukup tinggi dan masih agak panas. Sehingga apabila ada seseorang yang pergi menuju kota di sekitar Madinah (sesudah shalat) niscaya dia akan sampai di sana dalam keadaan matahari masih cukup tinggi (Bukhari [550] dan Muslim [621]). al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyegerakan shalat ‘Ashar, hal itu dikarenakan di situ disebutkan bahwa ketika orang-orang kembali dari pergi menempuh perjalanan sejarak 4 mil (ke kota lain di sekitar Madinah setelah shalat dikerjakan. pent) ternyata matahari masih cukup tinggi (Fath al-Bari, 2/35).
[3] Disunnahkan menyegerakan shalat Maghrib.
Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu’anhu, dia menceritakan, “Dahulu kami biasa mengerjakan shalat maghrib bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah itu apabila ada salah seorang di antara kami yang pulang ke rumah maka dia masih bisa melihat tempat-tempat jatuhnya anak panahnya.” (HR. Bukhari [559] dan Muslim [637]). Hal itu menunjukkan bahwa mereka mengerjakan shalat maghrib di awal waktunya (lihat Fath al-Bari, 2/50 dan Syarh Nawawi, 3/442). Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umatku senantiasa berada dalam kebaikan atau di atas fitrah selama tidak mengakhirkan shalat Maghrib sampai bintang-bintang mulai tampak bertaburan.” (HR. Abu Dawud [354]).
[4] Disunnahkan mengakhirkan shalat ‘Isya bila memungkinkan.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat di akhir malam pada suatu saat sampai-sampai sebagian besar waktu malam telah berlalu dan sampai orang-orang yang di masjid tertidur. Kemudian beliau bersabda, “Inilah waktu yang paling utama (untuk shalat Isya) seandainya aku tidak khawatir menyusahkan umatku (niscaya aku akan mengakhirkannya)” (HR. Muslim [638]). Yang dimaksud mengakhirkan adalah mengerjakannya dengan diakhirkan sebelum pertengahan malam, karena tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat bahwa mengerjakan shalat Isya selepas pertengahan malam adalah lebih utama (Syarh Nawawi, 3/444). Dan mengakhirkan waktu shalat isya di sini, ketika kondisinya tidak menyusahkan jama’ah (lihat Manhaj as-Salikin, hal 54-55).
[6] Disunnahkan mengerjakan shalat Shubuh di awal waktu.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Dahulu wanita-wanita beriman di jaman Nabi ikut menghadiri shalat Fajar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan tertutupi pakaian yang menyelimuti kepala dan tubuh mereka. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika shalat sudah selesai, tidak ada seorangpun yang mengenali mereka karena keadaan masih gelap” (HR. Bukhari [578] dan Muslim [645]).
Catatan : Lantas bagaimana dengan daerah/wilayah yang memiliki waktu siang dan malam yang tidak seimbang? Bagaimana mereka menentukan waktu-waktu shalat?
Maka dalam hal ini, Sebagian ulama berpendapat, hal itu diperkirakan dengan waktu yang pertengahan, malam diperkirakan 12 jam, dan demikian pula siangnya. Sebagian ulama lainnya berpendapat, waktu shalat diperkirakan dengan melihat negeri yang dekat dari daerah tersebut (yang memiliki waktu siang dan malam yang seimbang). Inilah pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kenyataan. Wallahu a`lam.
Mendapatkan Waktu Shalat
Waktu shalat diperoleh minimal dengan mengerjakan 1 raka’at shalat sebelum keluar waktunya. Nabi bersabda, “Barangsiapa mendapatkan satu raka’at shalat sungguh dia telah mendapatkan (hukum waktu) shalat” (HR. Bukhari [580] dan Muslim [607. Begitu pula dalam hadits Hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata ; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at shalat ‘Ashar sebelum matahari terbenam maka dia telah mendapatkan shalat ‘Ashar” (HR. Muslim [608] Syarah Nawawi 3/416).
Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa orang yang mendapati satu rakaat dari waktu shalat dengan dua sujudnya, maka sungguh ia telah mendapati waktu shalat tersebut. Begitu juga pemahaman kebalikannya, barangsiapa yang mendapati kurang dari satu rakaat, dia tidak dianggap mendapati waktu shalat tersebut. Akan tetapi, perlu memperhatikan dua perkara berikut ini :
[1]. Apabila telah mendapati satu rakat shalat, maka ia dianggap telah mengerjakan shalat secara utuh, akan tetapi bukan berarti boleh mengakhirkan shalat dari waktunya, karena shalat itu wajib dikerjakan pada waktunya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu `anhu dia mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabada (yang artinya), “Itulah shalat orang munafik. Dia duduk menunggu matahari, sampai matahari telah berada diantara dua tanduk setan, baru mengerjakan shalat empat rakaat, tidak mengingat Allah di dalam shalatnya kecuali sedikit.” (HR. Muslim)
[2]. Apabila ia telah mendapati waktu shalat seukuran satu rakaat, wajib atasnya mengerjakan shalat. Perhatikan contoh berikut ini :
Seorang wanita mendapat haid setelah terbenamnya matahari seukuran satu rakaat atau lebih dan ia tidak shalat Maghrib, maka tidak wajib atasnya mengerjakan shalat Maghrib dengan mengqadhanya ketika telah suci.
Seorang wanita telah suci dari haid sebelum terbitnya matahari seukuran satu rakaat atau lebih, maka wajib atasnya shalat Shubuh.
Waktu-Waktu Terlarang Untuk Shalat
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami dari mengerjakan shalat dan menguburkan orang yang mati diantara kami di waktu tersebut : yaitu ketika matahari mulai terbit hingga meninggi, ketika bayangan tepat dibawah benda hingga matahari tergelincir dari tengah-tengah, ketika matahari condong ke arah barat akan tenggelam hingga tenggelam (HR. Muslim [831]).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan alasan larangan ini yaitu karena ketika matahari terbit ia berada di antara dua tanduk syetan, dan ketika matahari tepat di atas kepala api jahannam sedang dinyalakan, sedangkan ketika matahari tenggelam ia berada diantara dua tanduk syetan, dan ketika itulah orang-orang kafir bersujud. Shalat yang terlarang dilakukan pada waktu-waktu tersebut adalah shalat sunnah mutlak yang tidak memiliki sebab, sehingga di waktu itu boleh mengerjakan shalat karena suatu sebab seperti shalat mengqadha’ shalat yang luput, shalat sunnah tahiyatul masjid, shalat sunnah setelah wudhu’ dsb.(diringkas dari al-Wajiz, hal. 64-66). Wallahu A’lam. (Dari beberapa sumber).
Selengkapnya...
Shalat Menghadap “Sutrah”
Shalat memiliki kedudukan yang agung dalam Islam karena dia merupakan tiang agama, perkara pertama yang akan dihitung dari amalan seorang hamba pada hari kiamat, terdapat perintah untuk menjaganya dan menegakkannya sebagaimana yang termaktub di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Namun demikian, sungguh kebanyakan kaum Muslimin tidak mengetahui hukum-hukum dan kewajiban yang berhubungan dengan tata cara melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam khususnya masalah yang berkaitan dengan Sutrah (Pembatas) dalam Shalat, baik manakala shalat sendiri ataupun berjama’ah. Padahal perkara ini berkaitan erat dengan kesempurnaan shalat sesseorang.
Mengingat urgensi permasalahan ini maka dalam edisi kali ini, kami menuliskannya secara ringkas. Semoga Allah memberikan taufiqNya. Amin.
Definisi Sutrah
a. Secara Bahasa. Dari sisi bahasa kata sutrah adalah bentuk kata benda dari kata kerja sa-ta-ra berarti menutupi. Maka sutrah berarti sesuatu yang menutupi. (Lihat, al Mishbah al Munir)
b. Secara Istilah. Adapun dari sisi istilah syara’ sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai pembatas seseorang yang sedang mendirikan shalat dengan orang yang berjalan di depannya dan secara rinci akan datang penjelasan selanjutnya.
Hukum Sutrah
Mayoritas ulama’ berpendapat dianjurkannya sutrah sebagai pembatas antara seseorang yang sedang mendirikan shalat dengan kiblat, hanya mereka berbeda pendapat dalam hal apakah hukumnya wajib atau tidak? Dan apakah sutrah dengan menggunakan garis telah mencukupi?
Berkaitan dengan permasalahan ini, para ulama’ berbeda pendapat, yakni :
a. Wajib. Sebagian ulama’ mengatakan wajib. Mereka beralasan dengan beberapa hadits, di antaranya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudriy, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang diantara kamu mendirikan shalat, maka hendaklah ia shalat ke arah sutrah dan mendekatinya, dan jangan membiarkan seseorang lewat di antara keduanya. Maka jika seseorang datang dan lewat (di antara keduanya) maka cegahlah (dengan tangan)dan tahanlah dia dengan keras karena dia adalah(amalan)syaithan .” (HR. Abu Dawud, 1/111; Ibnu Majah, 1/307; Ibnu Abi Syaibah, 1/279; dan selain mereka) dan Dalam riwayat yang lain beliau bersabda: “Maka sesungguhnya syaithan lewat di antara dia dan sutrah.”
Hadits riwayat Abdullah bin Mughaffal dan selainnya bahwa Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Yang membatalkan shalat adalah (lewatnya) anjing hitam, keledai dan wanita haid(dewasa).” (HR. Ahmad, 4/76; Ibnu Majah, 1/306)
Atsar dari para sahabat, di antaranya Ibnu Umar, Qurrah bin Iyas, Ibnu Mas’ud dan juga atsar dari Tabi’in di antaranya Ibnu Sirin dan Abu Ishaq telah menunjukkan disyari’atkannya permasalahan ini.
Dari hadits dan atsar di atas, telah jelas menunjukkan diwajibkannya permasalahan ini. Karena pada dasarnya setiap lafadz perintah dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengandung pengertian wajib, kecuali ada isyarat yang dapat memalingkan kepada hukum yang lain (sunnah) sementara tidak ada satupun isyarat yang menunjukkan demikian, bahkan para Sahabat-pun telah mengamalkan demikian dan mereka jelas-jelas tidak menyelisihinya. Allah Subhanaahu wa Ta’ala berfirman, Artinya: “Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kamu daripadanya “. (QS. Huud: 88)
b. Sunnah. Sebagian di antara ulama mengatakan hukum sutrah adalah sunnah. Mereka berpegang pada hadits riwayat Ibnu Abbas, dia berkata: “(Rasulullah) shalat bersama manusia (Sahabat) di Mina dan menghadap ke selain dinding, lalu aku berjalan di antara sebagaian shaf….”(HR. al-Bukhari, 1/181; 8/109; Ahmad, 1/243; Abu Dawud, 1/113 dan selain mereka)
Dan hadits ini secara tersirat dapat difahami bahwa beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat tidak menghadap ke sutrah.
Namun demikian pada hakekatnya hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah tentang disunnahkannya sutrah, karena beberapa alasan:
Tidak ada alasan bagi mereka yang mengunakan dalil ini bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan tidak memakai sutrah, karena para perawi hadits berselisih pendapat apakah kejadian tersebut terjadi di Mina atau di ‘Arafah. Namun pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa ini terjadi di ‘Arafah sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari jalan yang lain, dia berkata: “Aku menancapkan al-‘Anazah (sejenis tongkat/tombak) di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di ‘Arafah dan beliau shalat ke arahnya….” (HR. Ahmad, 1/243; Ibnu Khuzaimah, 2/26; dan ath-Thabraniy, 11/243).
Bahwa kalimat “menghadap ke selain dinding” sebagaimana yang termaktub di dalam hadits secara bahasa tidaklah mengandung makna tongkat, tombak, onta, tunggangan, atau batu dan selainnya yang dapat menutupi orang shalat secara mutlak, oleh karena itu al-Bukhari menyantumkan hadits dengan lafadz tersebut pada bab “Sutrah imam adalah sutrah bagi siapa saja yang berdiri dibelakangnya” untuk menjelaskan kebiasaan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menancapkan sejenis tombak/tongkat dan selainnya. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Hafidz di dalam kitabnya al-Fath al-Bari. Dan berkata Ibnu Turkumani, "Bahwa penyebutan tidak adanya dinding tidaklah selalu berkonotasi tidak adanya sutrah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perintah menggunakan sutrah bagi orang yang mendirikan shalat mengandung makna wajib berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan atsar para Sahabat dan Tabi’in. Wallohu A’lam
Batasan Sutrah
Berkenaan dengan batasan sutrah, maka ada dua hal yang seharusnya mendapat perhatian, yaitu:
1. Batasan orang yang shalat dengan sutrah
Telah ada penjelasan sebelumnya, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan terhadap orang yang mendirikan shalat agar mendekat terhadap sutrah sebagaimana termaktub di dalam beberapa hadits, dan salah satunya telah kami nukilkan sebelumnya.
Adapun batas terpanjang antara orang yang shalat dengan sutrah sebagaimana yang termaktub di dalam riwayat-riwayat yang ada menyatakan tiga dzira’ (tiga hasta) dan yang terpendek adalah dapat dilewati oleh seekor kambing. Sebagaimana atsar yang datang dari Sahl bin Sa’d, ia berkata: “Jarak antara tempat Nabi shalat dan dinding adalah dapat dilewati oleh seekor kambing” (HR. al-Bukhari, 1/574 dan Muslim, 4/225) Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa jarak tempat nabi dan kiblat adalah sebatas dapat dilewati seekor kambing.” (HR. Abu Dawud, 1/111)
Al-Imam an-Nawawiy berkata: Ulama’ dari kalangan kami telah menyatakan bahwa seyogyanya seorang yang sedang shalat mendekatkan dirinya ke arah sutrah dan tidak lebih dari tiga dzira’ (tiga hasta) (Lihat, Syarah Muslim, 4/217) atau sebatas dapat digunakan sujud sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Baghawiy, asy-Syafi’i dan Ahmad (Lihat, Syarh as-Sunnah, 2/447).
2. Batasan tinggi sutrah
Dalam masalah ini para ulama’ berselisih menjadi dua pendapat:
Pertama : Sebagaian ulama’ mengatakan bahwa batas minimal tinggi sutra adalah sehasta, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa haditsnya, di antaranya :
Hadits riwayat Thalhah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu meletakkan di antara dia (sesuatu) setinggi pelana onta, maka hendaklah dia shalat dan jangan menghiraukan siapapun yang lewat di belakangnya (sutrah).” (HR. Muslim, 4/216, 217)
Hadits riwayat ‘Aisyah, dia berkata: “Rasulullah pernah ditanya ketika perang Tabuk tentang sutrah orang shalat, maka beliau menjawab: seperti tinggi pelana onta.” (HR. Muslim, 4/216, 217).
Maka hadits di atas menunjukkan bahwa batas minimal tinggi sutrah yang dapat menutupi orang shalat dan menjaganya dari orang yang lewat adalah seperti tingginya pelana onta, yaitu sehasta dan dalam bentuk apa saja sebagaimana yang dikatakan oleh Qatadah, ‘Atha’, Ibnu Juraij (Lihat, HR. Abdur Razaq, 2/9; Abu Dawud, 1/109; dan Ibnu Khuzaimah, 2/11) dan tidaklah cukup baginya apabila kurang dari yang demikian kecuali dalam situasi yang tidak memungkinkan.
Kedua : Sebagian ulama’ mengatakan tidak ada batasan tinggi dalam sutrah, artinya apa saja dapat dijadikan sebagai sutrah meskipun dalam bentuk garis. Hal ini didasarkan atas riwayat Abu Hurairah dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian shalat, maka jadikanlah tempat wajahnya (dalam sujud) sesuatu (sebagai sutrah). Jika tidak ada hendaklah dia menancapkan tongkat, jika tidak ada maka hendaklah dia membuat garis sehingga tidak tidak ada sesuatupun yang lewat dapat mengganggunya.” (HR. Ahmad, dalam Fath ar-Rabbaniy: 3/127; Abu Dawud, 1/`27 dan Ibnu Majah, 1/303)
Namun demikian hadits ini tidak dapat digunakan sebagai hujjah (dalil) dalam masalah ini, dikarenakan beberapa hal:
Bahwa hadits di atas berbicara tentang seseorang yang tidak mendapat sutrah sebagaimana mestinya, maka dengan demikian tidak dapat dijadikan alasan kecuali dengan syarat tersebut.
Dari sisi sanad, hadits ini mudhtharib (guncang), karena dalam riwayat ini kadangkala perawinya mengatakan hadits ini diriwayatkan dari Abu Amr bin Harits dari bapaknya dari Abu Hurairah dan kadangkala mengatakan hadits ini diriwayatkan dari Abu Amr bin Muhammad bin Harits dari bapaknya dari Abu Hurairah dan kadangkala mengatakan hadits ini diriwayatkan dari Harits bin Amar dari Abu Hurairah dan lain-lain. (Lihat, Muqaddimah Ibnu Shalah, hal. 85; Talkhish al-Habir, 1/286 dan an-Nukat ‘ala Ibn Shalah, 2/772).
Dari argumentasi-argumentasi di atas jelaslah bagi kita bahwa pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa batasan tinggi minimal sutrah adalah sehasta, artinya dalam kondisi memungkinkan untuk mendapatkan sutrah setinggi tersebut maka tidak dibenarkan mencukupkan dengan garis atau sesuatu yang tingginya kurang dari sehasta kecuali dalam kondisi terpaksa.
Macam-Macam Sutrah
Sebagaimana yang termaktub di dalam hadits sebelumnya bahwa pada asalnya segala sesuatu yang setinggi mu’akhkharah ar-Rahl (setinggi pelana onta) maka dapat dijadikan sutrah. Dan sebagaimana telah ada dalam banyak riwayat, di antara bentuk sutrah yang pernah digunakan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah sebagai berikut :
Shalat menghadap dinding, sebagaimana Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat menghadap ke dinding masjid, dan dinding Ka’bah. (Lihat, HR. al-Bukhari, 2/212).
Shalat menghadap ke al-‘Anazah (sejenis tombak atau tongkat), sebagaimana hadits riwayat Ibnu Umar, yang termaktub di dalamnya lafadz al-‘Anazah. (Lihat, HR. Muslim, 4/218)
Shalat menghadap ke kendaraan (onta), sebagaimana hadits riwayat Ibnu Umar yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap ke hewan tunggangan (onta), sebagaimana telah ada riwayat yang menjelaskan selainnya (Lihat, HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih, 1/383)
Shalat menghadap ke pohon, sebagaimana hadits riwayat Ali bin Abi Thalib yang mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap ke pohon. (Lihat, HR. an-Nasa’i dalam al-Kubra dengan sanad yang hasan).
Shalat menghadap tempat tidur dan seorang istrinya sedang tidur, sebagaimana hadits riwayat ‘Aisyah yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap tempat tidur sedang dia dalam keadaan tidur berbaring. (Lihat, HR. al-Bukhari, 1/581; 3/201).
Demikian di antara bentuk sutrah yang pernah dipergunakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal-Hal yang Berhubungan Dengan Sutrah
Berkaitan dengan hukum-hukum dalam permasalahan sutrah, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
Sutrah dalam shalat berjama’ah adalah tanggung jawab seorang imam. Jika dia tidak mengambil sutrah maka yang demikian adalah kesalahan dia dan bukan kesalahan makmum karena dalam shalat berjama’ah seorang makmum tidak wajib baginya sutrah sehinga tidak berhak mencegah orang yang lewat di depannya. Berdasarkan riwayat Ibnu Abbas yang menceritakan suatu ketika dia dan Fadl melewati di antara shaf pertama dengan menunggang keledai betina, namun tidak seorangpun dari Sahabat yang melarang dan mengingkarinya, bahkan Nabi pun tidak mengingkari. (Lihat, HR. Muslim, 4/224).
Seorang makmum masbuq (tertinggal satu raka’at atau lebih dalam shalat berjama'ah) maka baginya diperbolehkan mendekat ke tempat yang dapat dijadikan sutrah setelah imam salam, baik ke depan, ke sisi kanan atau ke sisi kiri, jika jaraknya dekat. Dan jika agak jauh maka baginya tetap berdiri dan berusaha menghindar dari orang yang melewatinya. Sebagaimana seorang yang menjadikan tunggangannya sebagai sutrah lalu tunggangannya menjauhinya, maka dalam kondisi demikian bukan kesalahannya. Sebagaimana yang dinukil az-Zarqaani dari Imam Malik. (Lihat, Syarah az-Zarqaani ‘ala Muhtashar Khalil, 1/208)
Jika seorang tidak mendapatkan sutrah setinggi yang ditentukan (yaitu minimal sehasta), maka harus baginya tetap mengambil sutrah apapun bentuknya. Allah Ta’ala berfirman: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ” (QS. at-Taghabun: 16). Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila aku telah perintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah darinya semampu kalian.” (HR. al-Bukhari, 13/251 dan Muslim).
Tidak diperbolehkan shalat menghadap ke kubur, sebagaimana hadits riwayat Abi Mirtsad, dia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian shalat menghadap ke kubur dan janganlah kalian duduk di atasnya.” (HR. Muslim, 7/37). Wallahu A’lam.
(Bahan Bacaan : Ahkaam as-Sutrah, Syaikh Muhammad bin Rizq bin Tharhuuniy , yang disadur oleh Husnul Yaqin Ibnu Arba'in).
Selengkapnya...
Sifat Shalat Nabi (2)
Selanjutnya ...
Lalu sujud kembali, kemudian bangkit dari sujud sambil bertakbir, dan duduk sejenak sebagai duduk istirahat (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian bangkit dengan mengepalkan tangan (HR. Baihaqi) atau dengan membukanya (HR. Bukhari). (Lihat gambar No.18 dan 19).
Setelah bangkit/berdiri, kemudian mengerjakan rakat kedua dengan bersedekap, lalu membaca surat AL Fatihah (HR. Muslim).
Rakaat kedua lebih singkat dari rakaat pertama (HR. Muslim). Sehingga membaca surat yang lebih pendek dri surt di rakaat pertama. Kemudian ruku’, i’tidal, sujud dan duduk di antara dua sujud sebagaimana pada rakaat pertama.
Setelah sujud kedua, maka lakukanlah tasyahud awal dengan posisi duduk yaitu duduk iftirasy.
(Lihat Gambar No. 20).
Posisi tangan ketika tasyahud :
- Tangan kanan menggenggam tangan jari kelingking dan jari manis, adapun ibu jari dan jari tengah membentuk lingkaran (Lihat Gambar No. 21).
- Atau boleh juga digenggam seluruhnya (Lihat Gambar No. 22) kemudian jari telunjuk ditegakkan sambil digerak-gerakkan (HSR. Ibnu Majah).
Pandangan mata harus tertuju pada telunjuk (HR. Muslim) (Lihat Gambar No. 23).
Lalu membaca tasyahud awal :
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Segala penghormatan hanya milik Allah, juga segala pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlim-pahkan kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat dan berkahNya. Kesejah-teraan semoga terlimpahkan kepada kita dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.” (HR. Bukhari).
Lalu membaca shalawat nabi :
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ
“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagai-mana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya. Se-sungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Berilah berkah kepada Muhammad dan keluarganya (termasuk anak dan istri atau umatnya), sebagai-mana Engkau telah
memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarganya. Se-sungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.” (HR. Bukhari).
Bila shalat subuh, Jum’at atau shalat du rakaat lainnya, maka tidak tasyahud awal namun langsung melakukakn tasyahud akhir, dengan posisi duduk yaitu, duduk iftirasy (HR. Bukhari) dan membaca seperti bacaan di atas lalu ditambah dengan doa :
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّال
“Ya Allah, Sesungguhnya aku ber-lindung kepadaMu dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bila telah melakukan tasyahud awal, maka bangkitlah, lalu kerjakan rakaat ketiga dengan tangan bersedekap dan membaca al Fatihah dan tidak membaca surat lain setelahnya. Kemudian ruku’, I’tidal, sujud dan duduk di antara dua sujud lalu sujud kedua seperti biasa.
Bila shalat maghrib, maka di rakaat ketiga ini lakukanlah tasyahud akhir setelah melakuakn sujud kedua. Posisi duduk yaitu, duduk tawarruk (dengan posisi : telapak kaki kanan ditegakkan, kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan dan pantat duduk di lantai) (Lihat Gambar No.24). Bacaannya sama dengan sebelumnya (HR. Bukhari).
Bila tidak mampu duduk tawarruk seperti gambar No.24, maka boleh melakukannya seperti pada gambar No.25.
Bila engkau telah melakukan sujud kedua, maka bangkitlah lalu kerjakanlah rakaat keempat. Lalu ruku’, I’tidal, sujud, duduk dui antara dua sujud dan sujud kedua seperti biasa. Maka lakukanlah tasyahud akhir dengan posisi duduk tawarruk.
Setelah itu salam, dimulai dengan menolehkan wajah ke kanan (Lihat Gambar No.26) sambil mengucapkan :
السلام عليكم ورحمة الله
“Semoga keselamatan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian” (HR. Muslim).
Lalu menolehkan wajah ke kiri (Lihat Gambar No.27) mengucapkan ucapan yang sama.
Selengkapnya...
Sifat Shalat Nabi (1)
PERTAMA
1. Berwudhu terlebih dahulu. (HR. Muslim)
2. Berniat di dalam hati dan tidak dilafazhkan (HR. Bukhari dan Muslim).
3. Menghadap kiblat, yaitu Ka’bah (QS. Al Baqarah : 144).
Perhatian : Menghadap ka’bah bukan berarti menyembah ka’bah, tetapi tetap menyembah Allah. Kita menghadap ka’bah karena kita diperintahkan oleh Allah untuk itu dan kita pun tunduk pada perintahNya.
4. Menempatkan sutrah di hadapanmu. Yaitu, pembatas. Seperti : tembok, tiang, dll. Tinggi sutrah (minimal) yaitu satu hasta (dari ujung jari tengah sampai siku (HR. Muslim)). Sedangkan jarak antara sutrah dan tempat sujud kira- kira bisa dilalui seekor kambing (HR. Bukhari dan Muslim).
5. Lakukanlah shalat dengan berdiri (Lihat Gambar No. 1), bila tidak mampu maka boleh duduk. Bila tidak mampu duduk maka dengan berbaring, dan jika tidak mampu menggerakkan anggota badan maka boleh dengan isyarat. Bila tidak dengan isyarat maka dengan hati (HR. Bukhari).
KEDUA
1. Bertakbiratul ihram, dengan mengucapkan ”Allahu Akbar” sambil mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu (HR. Bukhari dan Muslim) atau telinga (HR. Bukhari dan Muslim) serta melihat tempat sujud, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri (HR. Bukhari dan Muslim). (Lihat Gambar No.2 dan 3).
2. Mengangkat kedua tangan ketika bertakbir bisa dilakukan dengan salah satu dari tiga keadaan :
Sebelum ucapan tabir ((HR. Muslim)
Bersamaan dengan ucapan tabir (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
Sesudah ucapan takbir (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Jari – jemari tangan saat takbir dirapatkan, namun tidak digenggam dan jari – jemarinya , menghadap ke atas (HSR. Abu Dawud).
KETIGA
1. Meletakkan telapak tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, atau di pergelangan, atau di lengan bawah tangan kiri, atau tangan kanan menggenggam tangan kiri (HSR. An Nasaa’i) dan posisi kedua tangan di dada (HSR. Abu Dawud dan An Nasaa’i). (Lihat Gambar No.4, 5 dan 6).
2. Membaca doa Istiftah, di antaranya :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلاَ إِلَـهَ غَيْرُكَ
Maha Suci Engkau ya Allah, aku memujiMu, Maha Berkah akan nama-Mu, Maha Tinggi kekayaan dan kebesaranMu, tiada Ilah yang berhak disembah selain Engkau. (HSR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
KEEMPAT
1. Membaca ta’awwudz.
2. Membaca basmalah, dipelankan (tidak dikeraskan (HSR. AN Nasaa’i), kemudian dilanjutkan dengan surah Al Fatihah.
KELIMA
1. Membaca : “Aamiin” setelah selesai mebaca “Waladhdhaalliin” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Setelah membaca al Fatihah, bacalah salah satu surat atau ayat – ayat yang Engkau hafal (HR. Bukhari dan Muslim). Bacaan surah atau ayat – ayat ini dibaca pada rakaat pertama dan kedua saja.
3. Setelah selesai membaca surah, maka berdiam sejenak (thuma’niinah) (HSR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
KEENAM
1. Melakukan ruku’ sambil bertakbir (mengucapkan : “Allahu Akbar”) dan mengangkat kedua tangan sejajar pundak atau telinga (HR. Bukhari dan Muslim).
Posisi ruku’ : Punggung rata dan kepala sejajar dengan punggung (HSR. Abu Dawud). Kedua telapak tangan diletakkan (HR. Bukhari) atau menggenggam (HSR. Abu Dawud) kedua lutut dan jari – jemari direnggangkan (HR. Bukhari).
2. Lakukanlah ruku’ dengan thuma’niinah, yaitu diam sejenak hingga tulang – tulang menempati posisinya (HR. Bukhari dan Muslim). (Lihat Gambar No.7 dan 8).
3. Kemudian membaca : سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْم
“Maha suci Allah yang Maha Agung”, sebanyak 3 kali . (HR. Muslim)
KETUJUH
1. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) dengan mengngkat kedua tangan sejajar dengan bahu atau kedua telinga (Lihat Gambar No 9). Sambil mengucapkan :
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَه
“Semoga Allah mendengar pujian orang yang memujiNya” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Setelah tegak berdiri (Lihat Gambar No 10), lalu mengucapkan :
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
“Wahai Tuhan kami, bagiMu segala puji, aku memujiMu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
KEDELAPAN
1. Melakukan sujud sambil bertakbir , kemudian meletakkan kedua lutut terlebih dahulu dari kedua tangan (atau boleh pula sebaliknya) (HSR. Abu Dawud). (Lihat Gambar No. 11).
2. Posisi sujud : Kedua telapak tangan dibuka, tidak mengepal dan diletakkan sejajar dengan bahu atau telinga, kedua siku diangkat, dijauhkan dari lantai dan direnggangkan/dijauhkan dari lambung kiri dan kanan, sehingga ketiak kelihatan kecuali ketika shalat berjamaah, maka kedua siku dirapatkan ke sisi lambung (dikondisikan) (HSR. Abu Dawud dan An Nasaa’i). (Lihat Gambar No. 12).
3. Posisi jari –jemari ketika sujud, dirapatkan (HSR. Ibnu Khuzaimah) dan menghadap kiblat (HR. Bukhari).
KESEMBILAN
1. Posisi ketika sujud : Kedua paha dibuka (HR. Bukhari dan Muslim), lalu ujung jari – jemari kaki menghadap kiblat dan kedua telapak kaki ditegakkan serta kedua tumit dirapatkan (HSR.Ibnu Khuzaimah ).(Lihat Gambar No.13)
2. Jarak antara paha dan lambung dijauhkan (Kitab Al Qaulul Mubin Fii Akhta Al Mushallin).
3. Sujudlah dengan thuma’ninah dan lakukanlah dengan menempelkan tujuh anggota badan : dahi dan hidung (1), kedua tangan (2), kedua lutut (2), dan ujung jari – jemari kedua kaki (2). (HR. Bukhari dan Muslim). (Lihat Gambar No. 14).
4. Bacaan ketika sujud :
سُبْحَانَ رَبِّي اﻷﻋﻠﻰ
“Maha suci Allah yang Maha Tinggi” , sebanyak 3x (HR. Muslim)..
KESEPULUH
Bangkit dari sujud sambil bertakbir lalu duduk iftirasy (untuk duduk di antara du sujud), yaitu duduk dengan bertumpu pada telapak kaki kiri dan telapak kaki kanan ditegakkan (HR. Muslim) (Lihat Gambar No. 15)
KESEBELAS
Posisi tangan ketika duduk iftirasy : Telapak tangan kanan di atas paha kanan, demikian pula dengan tangan kiri (HR. Muslim). Atau telapak tangan kanan diletakkan di lutut kanan seolah-olah menggenggamnya, demikian pula dengan tangan kiri (HSR. An Nasaa'i). (Lihat Gambar No. 16 dan 17).
Membaca doa :َ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ رَبِّ اغْفِرْ لِي
“ Ya Rabbku ampunilah aku, “ Ya Rabbku ampunilah aku”. (HSR. Abu Dawud)
Selengkapnya...
Karena Tidak Semua yang Engkau Tahu, Harus Terucapkan ! ( Sebuah renungan untuk manajemen lisan, saat diam saat bicara )
Laisa kullu la yu’lamu yuqalu. Tidak semua yang diketahui itu harus terucapkan.Sebab Likulli Maqaamiin maqaalun. Setiap kondisi dan keadaan itu mempunyai perkataan yang tepat. (Atau jika Anda mau Anda juga bisa mengatakan bahwa setiap perkataan itu memiliki saat dan kondisi yang tepat untuk diucapkan).
Ini adalah sebuah nasehat penting bagi siapa yang diberi karunia ilmu dari Allah. Sebab nampaknya memang sulit untuk dipungkiri bahwa mengetahui saja tidaklah cukup. Karena agar pengetahuan itu jatuh di tempat yang tepat, kita membutuhkan pemahaman. Yang terakhir inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah Fiqh.
Ya, banyak yang tidak mengetahui dienullah, hanya sedikit saja yang mengetahuinya, dan dari sedikit yang mengetahui itu, semakin sedikit pula yang diberikan pemahaman. Maka untuk orang yang sangat khusus ini, sang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Mengatakan: “Man Yuridillahu bihi khairan yufaqqihhu fiddiin.” Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapatkan puncak segala kebahagiaan (kebaikan) , Maka Allah akan memahamkannya (membuatnya Faqih) terhadap diennya.
Anda mungkin pernah mendengar nama seorang tabiin besar bernama Waki’ bin Al Jarrah. Kalau Anda belum pernah mendengar namanya, tentu Anda sudah sering mendengar nama Imam Asy-Syafi’i. Nah, Imam Asy-Syafi’i ini adalah murid dari Waki’ bin Al Jarrah itu. Ketika Asy-Syafii mengalami kesulitan menghafal, para sang guru inilah ia mengadu. Nasehat sang Guru kemudian ia abadikan dalam syair yang sangat terkenal :
Kumengadukan pada Waki’ akan hafalanku yang buruk .
Lalu ia menasehatiku agar meninggalkan maksiat .
Karena ilmu itu adalah cahaya Allah.
Dan cahaya itu tak dikaruniakan kepada pelaku maksiat.
Waki’ bin Al Jarrah ini pernah mengalami kejadian yang sangat menakutkan akibat tergelincir dalam masalah yang dibahas dalam tulisan ini. Tetapi begitulah, setiap Alim di bumi ini akan mempunyai Zallah, ketergelinciran dan ketersalahan. Tidak ada yang ma’shum kecuali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Entah bagaimana kisahnya, Waki’ pernah mendengarkan sebuah riwayat tentang kisah kematian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kisah itu diriwayatkan dari seorang yang bernama Isma’il Ibn Abi Khalid. Lalu Isma’il ini meriwayatkannya dari Abdullah Al-Bakhi. Nah Abdullah Al Bakhi inilah yang kemudian mengatakan bahwa “Sahabat Abubakar As-Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu mendatangi Jenazah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian beliau bersimpuh dan menciumnya seraya mengatakan : “Duhai, alangkah indahnya hidup dan kematianmu, wahai Rasulullah. “ Setelah itu - masih berdasarkan penuturan Abdullah Al-Bahiyy - jenazah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disemayamkan selama satu hari satu malam, hingga perut beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agak membengkak demikian pula jari beliau.“ Demikianlah riwayat Abdullah Al-Bahiyy yang diterima oleh Waki’ bin Al-Jarrah.
Suatu ketika dalam sebuah majelisnya di Mekkah, dia menyampaikan riwayat ini; sebuah riwayat yang sesungguhnya adalah riwayat yang mungkar dan munqathi’ (terputus). Karena riwayat tersebut, Mekkah pun menjadi heboh. Apalagi kalangan orang Quraisy. Mereka berkumpul dan bersepakat untuk menyalib Waki’ yang dianggap telah melecehkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. dengan meriwayatkan kisah tersebut. Padahal niat Waki’ sesungguhnya sangat baik. Ketika ia ditanya mengapa ia menyampaikan riwayat itu ia mengatakan,” Beberapa orang sahabat, diantaranya Umar bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu tidak mempercayai bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mengalami kematian. Maka berdasarkan riwayat tersebut Allah kemudian menunjukkan kepada mereka beberapa tanda kematian (yaitu anggota tubuh yang berubah yang menjadi agak bengkak)”.
Sebuah alasan yang sangat masuk akal. Namun orang-orang Quraisy sudah terlanjur marah. Mereka telah menyiapkan kayu untuk menyalib Waki’ bin Al-Jarrah. Namun untunglah pertolongan Allah segera menghampirinya. Disaat yang genting itu, muncullah Sufyan bin Uyainah. Ia segera saja berteriak, “Demi Allah! Demi Allah! Jangan kalian lakukan itu! Ini adalah Faqihnya negeri Irak ,ayahnya juga seorang Alim besar disana.”
Sedangkan riwayat yang ia sampaikan itu adalah riwayat yang masyhur.” (Dan Sufyan tidak berdusta ketika mengatakan bahwa riwayat itu merupakan riwayat yang masyhur, sebab sebuah riwayat yang masyhur belum tentu shahih). Padahal seperti kata Sufyan : “Aku belum pernah mendengarkan riwayat itu sebelumnya, Aku hanya ingin menyelamatkan Waki. “
Demikianlah akhir kisah Waki’ bin Al -Jarrah, guru Imam Asy-syafi’i. Seperti kata seorang ahli sejarah besar Adz-Dzahaby. “Kisahnya sungguh aneh. Ia sesungguhnya bermaksud baik. Namun sangat disayangkan saat itu kenapa ia tidak memilih diam dan tidak menyampaikan riwayat itu. Padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Telah mengatakan : “Cukuplah menjadi dosa seseorang bila ia membicarakan setiap apa yang ia pernah dengarkan’....Hampir saja nyawanya melayang.....”
Maka seperti kata-kata hikmah, kita pun mengatakan, “.......walaisa kullu maa yuqaalu, yuqaalu fiqulli maqaam.....” -Bila tidak semua yang diketahui itu pantas terucapkan- maka tidak semua yang pantas terucapkan itupun tidak serta merta dapat diucapkan disetiap tempat, waktu, dan orang. Sebuah pesan penting untuk para pemilik ilmu untuk bersikap bijak.
Walahu A’lam.
(Sumber : Perindu-Perindu Malam, Abul Miqdad Al-Madani, Mujahid Press)
Selengkapnya...
Kepada Anda yang Sedang Sakit, Berbahagialah !
Segala puji bagi Allah, yang menentukan segala takdir, yang menyembuhkan segala penyakit serta menyingkirkan segala mcam bentuk musibah. Shalawat dan Salam semoga terlimpahkan kepada NabiNya yang terpilih, kepada sanak keluarga beliau yang mulia serta para sahabat beliau yang terbaik.
Teruntuk mereka yang dikehendaki Allah untuk mendapatkan berbagai musibah dan kesulitan.
Teruntuk mereka yang Allah kehendaki untuk menjadi lebih bersih melalui terpaan berbagai macam penyakit.
Teruntuk juga mereka yang ingin mengenal dan memahami hakikat penyait yang sedang menimpanya.
Atau, mereka yang kehilangan tenaga dan kesegaran jasmaninya, namun tetap berdzikir kepada Allah bersyukur dan mengharapkan pahala dariNya.
Camkanlah, firman Allah ‘Azza Wa Jalla, artinya : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu” (QS. Al Baqarah : 216).
Wahai Saudaraku yang sedang sakit! Semoga Allah memberikan kesembuhan dan keselamatan kepadamu. Cobalah sejenak unuk membuka kelopak matamu dalam kesempatan yang selintas ini. Perbesarlah pandangan jiwamu untuk menyelami tulisan singkat yang semoga berisi pelajaran berharga dan ungkapan yang baik ini. Semoga Allah menjadikan tulisan ini sebagai hiburan saat dibaca, sebagai obat bagi jiwa yang sedang lemah, dan sebagai jalan untuk bermunajat kepadaNya.
Berbaik Sangka Kepada Allah
Nikmat kesehatan dan ’afiat laksana mahkota raja di atas kepala, yang tidak dapat dilihat kecuali oleh mereka yang sedang terbaring lemas, merana dan merintih menderita sakit di atas ranjang-ranjang putih. Namun, ketahuilah, hal itu merupakan ketetapan Allah Yang Maha Penyayang terhadap setiap hambaNya. Yakinlah, bahwa setiap ketetapan itu tidak lepas dari hikmah dan kasihNya kepada makhlukNya, melebihi kasih seorang ibu kepada anaknya. Maka, berbaik sangkalah kepada Allah!!. Ya, demikianlah seorang mukmin mesti bersikap. Ingatlah firman Allah dalam sebuah hadits qudsi, artinya :”Aku tergantung biknya sangka hamba terhadapKu. Jika baik,maka baiklah adanya. Dan jika buruk, maka buruklah adanya”. (HR.Ahmad, Thabrani, dan Ibnu Hibban).
Cobaan adalah Tanda Kasih Allah
Siapa saja yang mencermati perjalanan hidup para nabi dan rasul ’alaihimussalam sebagai orang-orang yang paling dicintai oleh Allah, pasti akan mendapatkan bahwa cobaan adalah garis hidup mereka, kesusahan dan penyakit seolah menjadi senandung mereka.
Betapa tidak, sebab cobaan dan penyakit yang menimpa orang yang memilki hubungan yang baik dengan Allah, lalu ia mendapatkan karunia untuk bisa bersabar, niscaya semua itu menjadi tanda kebaikan dan cinta kasih dari Rabbnya.
Dan hal ini terus berlangsung dalam garis kehidupan mereka dan orang-orang beriman sebagai ujian kebenaran atas keimanan yang terpatri dalam qalbu mereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya : “Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta “ (QS. Al Ankabut : 1-3).
Dari Anas bin Malik radhiallahu ’anhu diriwayatkan bahwa ia menceritakan : Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Kalau Allah mencintai seseorang, pasti Allah akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa yag ridha menerima cobaannya, maka ia aman menerima keridhaan Allah. Dan barangsiapa yang kecewa menerimanya, niscaya ia akan menerima kermurkaan Allah” .(HR. Tirmidzi).
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, maka Dia akan menguji dan menimpakan musibah kepadanya” .(HR. Bukhari).
Dan juga Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pernah bersabda : ”Sesungguhnya besarnya pahala (balasan) sangat ditentukan oleh besarnya cobaan. Dan jika sekiranya Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji dan memberikan cobaan kepada mereka”. (HR. Tirmidzi, Baihaqi).
Sa’ad bin Abi Waqqas pernah ditanya oleh seseorang : ”siapakah yang paling besar cobaannya? ”, beliau menjawab : Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pernah bersabda : ”Orang yang paling berat cabaannya adalah para nabi, baru diikuti oleh orang di bawah kedudukan mereka secara berturut. Seorang hamba hamaba akan mendapatkan cobaan sesuai dengan kadar keimanannya. Kalau imannya kuat, maka cobaan yang menimpanya juga berat. Kalau imannya lemah, maka cabaan yang menimpanya disesuaikan dengan kadar keimanannya. Cobaan akan terus menimpa seorang hamba, sampai ia dibiarkan berjalan di muka bumi ini tanpa memilki dosa lagi.” (HR. Tirmidzi).
Demikianlah, para ulama salaf telah menyelami makna hadits-hadits tersebut sehingga mereka mendapatkan pelita terang di dalamnya. Mereka menganggap bahwa cobaan dan penyakit adalah kenikmatan, kabar gembira dan cinta kasih dari Rabbnya Yang Maha Kasih dan Lembut bagi setiap hambaNya.
Cobaan Adalah Jalan Menuju Jannah
Sekali lagi, sesungguhnya berbagai wabah dan penyakit termasuk di antara bentuk cobaan Allah terhadap para hambaNya, sebagai ujian atas kesabaran dan keimanan mereka. Bahkan bagi orang yang memiliki pemahaman dan daya merenung yang tinggi, bisa menjadi kenikmatan yang besar yang wajib disyukuri. Sebab, berbagai terpaan cobaan dan penyakit tersebut, menjadi jalan diampuninya dosa-dosa dan ditinggikannya derajat mereka di sisi Allah.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ’anhu diriwayatkan bahwa ia menceritakan : Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan Allah hapuskan berbagai kesalahnnya, seperti sebuah pohon meruntuhkan daun-daunya (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ’anhu diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Cobaan itu akan selau menimpa seorang mukmin dan mukminah, baik pada dirinya, pada diri anaknya ataupun pada hartanya, sehingga ia bertemu dengan Allah tanpa dosa sedikit pun.” (HR. Tirmidzi).
Begitu pula, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Tiadalah kepayahan, penyakit, kesusahan, kepedihan dan kesedihan yang menimpa seorang muslim sampai duri di jalan yang mengenainya, kecuali Allah menghapus dengan itu kesalahan – kesalahannya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Ada seorang wanita datang menemui Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, ia berkata : ”Saya mengidap penyakit epilepsi dan apabila penyakitku kambuh, pakaianku tersingkap. Berdoalah kepada Allah untuk diriku”. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Kalau engkau bersabar, engkau mendapatkan jannah. Tapi kalau engkau mau, aku akan mendoakan agar engkau sembuh”. Wanita itu berkata : ”Aku bersabar saja”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pernah menemui Ummu As-Saa’ib, beliau bertanya : ”Kenapa engkau menggigil seperti ini wahai Ummu As-Saa’ib? Wanita itu menjawab : Karena demam wahai Rasulullah, sungguh tidak ada berkahnya sama sekali. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Jangan engkau mengecam penyakit demam. Karena penyakit itu bisa menghapuskan dosa-dosa manusia seperti proses pembakaran menghilangkan noda pada besi” .( HR. Muslim).
Saudaraku tercinta!. Kemungkinan engkau memliki kedudukan di sisi Allah yang tidak dapat dicapai oleh amal perbuatanmu semata. Allah akan terus menurunkan cobaan kepadamu dengan hikmahNya yang mungkin engkau tidak sukai, lalu Allah memberikan kesabaran kepadamu untuk menghadapiya sehingga engkau mencapai kedudukan tersebut. Bila demikian, kenapa esti bersedih?.
Pahala yang Terus Mengalir
Di antara ke-Maha Lembut-an Allah dan rahmatNya, bahwa apabila Allah menutup satu pintu kebajikan bagi seseorang, pasti Allah akan membukakan banyak pintu kebajikan lain. Lebih dari sekesar pahala yang dituliskan bagi orang yang sakit sebagai balasan dari penyakit dan kesulitan yang dideritanya, Allah ternyata juga tidak menghalangi mereka mendapatkan pahala dari berbagai ibadah yang biasa mereka lakukan, meskipun mereka tidak sempurna melakukannya lagi karena mereka sedang sakit.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari diriwayatkan bahwa ia menceritakan : Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda :” Kalau seorang hamba sakit atau sedang bepergian, pasti Allah akan menuliskan baginya pahala seperti saat ia mengamalkan ibadah di masa masih sehat dan sedang bermukim.” (HR. Bukhari).
Dan satu lagi, bahwa setiap keadaan yang dihadapi oelh seorang hamba beriman menjadi kebaikan buat dirinya. Rasulullah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Sungguh ajaib kondisi seorang mukmin, seluruh kondisinya pasti menjadi baik. Dan itu hanya dimilki oleh seorang mukmin saja. Apabila ia memperoleh kenikmatan akan bersyukur, maka kesenangan itu akan menjadi kebaikan buat dirinya. Apabila ia tertimpa musibah, ia akan bersabar, dan musibah itu pu akan menjadi kebaikan buat dirinya”. (HR. Muslim).
Kemuliaan apa lagi yang bisa didapatkan setelah kemuliaan yang Allah berikan ini? Keutamaan apa pula yang lebih luas dari keutamaan Allah yang mengaruniai berbagai keutamaan?.
Saat sakit, seorang hamba beristirahat, namun Allah masih menuliskan pahala dari perbuatan yang diamalkannya di masa sehat.
Akhirnya, Semoga Allah melimpahkan kesehatan kepada Anda, kami dan kepada setiap mreka yang sedang diuji oleh Allah dengan penyakit. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba yang mapu bersyukur dan bersabar. Dan, semoga musibah dan bala’ TIDAK ditimpakan dalam agama kita. Amin, Ya Mujiib As Saa’iliin.
Referensi : Absyir Ayyuhal Maridh, DR.Muhammad Ar Rukban, Rasaa’il Tarbawiyah, Shalih bin Ali Ab ’Arrad Asy Syahri.
Selengkapnya...
Bagaimana Memberi Nama Bagi Anak Anda ? ( Untuk Anda yang telah dan akan memiliki anak )
Nama adalah ciri atau tanda. Dengan nama, sesuatu dapat dikenali. Seorang yang diberi nama dapat mengenal dirinya atau dikenal oleh orang lain. Sehingga, seseorang yang tidak diberi atau memiliki nama, maka ia akan menjadi seorang yang majhul (tidak dikenal) oleh masyarakat. Dan inilah hakikat pemberian nama kepada seseorang yakni agar ia dapat dikenal dan dimuliakan .
Oleh sebab itu para ulama bersepakat akan wajibnya memberi nama kepada anak laki-laki dan perempuan (sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibn Hazm dalam Marotib Al-Ijma’, hal: 154).
Waktu Pemberian Nama
Waktu penamaan anak dalam syariat Islam, cukup longgar. Boleh menamainya pada hari kelahirannya atau pada hari ke tujuh, masing-masing memiliki dasar hukum. Imam Al-Bukhari dan Muslim membawakan suatu hadits dari ahl bin Sa’d As-Sa’idi, dia berkata: “Al-Mundzir bin Usaid dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kelahirannya. Rasulullah memangkunya. Sedangkan ayahnya duduk. Rasulullah memainkan sesuatu di hadapan sang bayi. Abu Usaid meminta orang lain untuk mengambil Usaid dari pangkuan Rasulullah. Maka diambillah bayi itu dari pangkuan Rasulullah, Rasulullah bertanya : “Dimana bayinya”. Abu Usaid menjawab : “Kami pindahkan wahai Rasulullah”. Lalu beliau bertanya : “Siapa namanya?”. Ayahnya menjawab : “Fulan”. Rasulullah menyanggah : “Tidak, namanya (yang tepat) adalah Al-Mundzir”.
Dalam Shahih Muslim dari hadits Sulaiman bin Al-Mughirah dari Tsabit dari Anas, ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Malam ini bayiku lahir, Aku beri nama mirip nama moyangku, Ibrahim”. Dari Samurah Radhiyallahu ‘anhu, Imam Ahmad dan Ahlus Sunnah meriwayatkan, ia berkata : “Rasulullah bersabda : “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ke tujuh (kelahirannya) sekaligus dinamai dan dicukur rambut kepalanya”. [Fatawa Islamiyah 4/489, Lajnah Daimah].
Pemberian Nama Kepada Anak Adalah Hak (Kewajiban) Bapak.
Tidak ada perbedaan pendapat bahwasannya seorang bapak lebih berhak dalam memberikan nama kepada anaknya dan bukan kepada ibunya. Hal ini sebagaimana telah tsabit (tetap) dari para sahabat radhiallahu ‘anhum bahwa apabila mereka mendapatkan anak maka mereka pergi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nama kepada anak-anak mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan bapak lebih tinggi daripada ibu.
Nasab Anak Kepada Bapak Bukan Ibu
Sebagaimana hak (kewajiban) memberikan nama kepada anak adalah di pihak bapak, maka seorang anakpun bernasab kepada bapaknya bukan kepada ibunya. Oleh sebab itu seorang anak akan dipanggil: Fulan bin Fulan, bukan Fulan bin Fulanah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, artinya : “ Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka…” (QS. Al-Ahzab: 5).
Dan manusia pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama bapak-bapak mereka: “Fulan bin fulan”. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat Shahih Bukhori, bab: Maa Yad’u An-Naas Bi abaihim).
Tata Tertib Pemberian Nama Seorang Anak
1. Disukai Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Dua Suku Kata, misal Abdullah, Abdurrahman. Kedua nama ini sangat disukai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana diterangkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud dll. Kedua nama ini menunjukkan penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla.
Dan sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan nama kepada anak pamannya (Abbas radhiallahu ‘anhu), Abdullah radhiallahu ‘anhuma. Kemudian para sahabat radhiallahu ‘anhum terdapat 300 orang yang kesemuanya memiliki nama Abdullah.
Dan nama anak dari kalangan Anshor yang pertama kali setelah hijrah ke Madinah Nabawiyah adalah Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhuma.
2. Disukai Memberikan Nama Seorang Anak Dengan Nama-nama Penghambaan Kepada Allah dengan nama-namaNya Yang Indah (Asma’ul Husna), misal: Abdul Aziz, Abdul Ghoniy dll. Dan orang yang pertama yang menamai anaknya dengan nama yang demikian adalah sahabat Ibn Marwan bin Al-Hakim.
Sesungguhnya orang-orang Syi’ah tidak memberikan nama kepada anak-anak mereka seperti hal ini, mereka mengharamkan diri mereka sendiri memberikan nama anak mereka dengan Abdurrahman sebab orang yang telah membunuh ‘Ali bin Abi Tholib adalah Abdurrahman bin Muljam.
3. Disukai Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Nama-nama Para Nabi. Para ulama sepakat akan diperbolehkannya memberikan nama dengan nama para nabi ( Lihat Syarh Shahih Muslim 8/437. Imam An-Nawawi rahimahullah; Marotib Al-Ijma’, hal: 154-155).
Diriwayatkan dari Yusuf bin Abdis Salam, ia berkata:”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nama kepadaku Yusuf” (HR. Bukhori, Kitab Adabul Mufrod).
Dan seutama-utamanya nama para nabi adalah nama nabi dan rasul kita Muhammad bin Abdillah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya penggabungan dua nama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan nama kuniyahnya, Muhammad Abul Qasim.
Berkata Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah: ”Dan yang benar adalah pemberian nama dengan namanya (yakni Muhammad) adalah boleh. Sedangkan berkuniyah dengan kuniyahnya adalah dilarang dan pelarangan menggunakan kuniyahnya pada saat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup lebih keras dan penggabungan antara nama dan kunyah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terlarang” (Zaadul Ma’ad, 2/347. Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah).
4. Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Nama-nama Orang Sholih Dari Kalangan Kaum Muslimin.
Telah tsabit dari hadits Mughiroh bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda : “Sesungguhnya mereka memberikan nama (pada anak-anak mereka) dengan nama-nama para nabi dan orang-orang sholih” (HR. Muslim).
Kemudian para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penghulunya orang – orang shalih bagi umat ini dan demikian juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari akhir.
Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa hal ini adalah baik, oleh karena itu sahabat Zubair bin ‘Awan radhiallahu ‘anhu memberikan nama kepada anak – anaknya –jumlah anaknya 9 orang- dengan nama-nama sahabat yang syahid pada waktu perang Badr, missal: Abdullah,’Urwah, Hamzah, Ja’far, Mush’ab, ‘Ubaidah, Kholid, ‘Umar, dan Mundzir.
Nama-nama yang Diharamkan
a. Kaum muslimin telah bersepakat terhadap haramnya penggunaan nama-nama penghambaan kepada selain Allah Ta’ala baik dari matahari, patung-patung, manusia atau selainnya, misal: Abdur Rasul (hambanya Rasul), Abdun Nabi (hambanya Nabi) dll. Sedangkan selain nama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, misal: Abdul ‘Uzza (hambanya Al-‘Uzza (nama patung/berhala), Abdul Ka’bah (hambanya Ka’bah), Abdus Syamsu (hambanya Matahari) dll.
b. Memberi nama dengan nama-nama Allah Tabaroka wa Ta’ala, misal: Rahim, Rahman, Kholiq dll.
c. Memberi nama dengan nama-nama asing atau nama-nama orang kafir.
d. Memberi nama dengan nama-nama patung/berhala atau sesembahan selain Allah Ta’ala, misal: Al-Lat, Al-‘Uzza dll.
e. Memberi nama dengan nama-nama asing baik yang berasal dari Turki, Faris, Barbar dll.
f. Setiap nama yang memuji (tazkiyyah) terhadap diri sendiri atau berisi kedustaan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ; “Sesungguhnya nama yang paling dibenci oleh Allah adalah seseorang yang bernama Malakul Amlak (rajanya diraja)” (HR. Bukhori; Muslim).
g. Memberi nama dengan nama-nama Syaithon, misal: Al-Ajda’ dll.
Nama-nama Yang Dimakruhkan
a. Dimakruhkan memberi nama anak dengan nama-nama orang fasiq, penzina dll.
b. Dimakruhkan memberi nama anak dengan nama perbuatan-perbuatan jelek atau perbuatan-perbuatan maksiat.
c. Dimakruhkan memberi nama anak dengan nama para pengikut Fir’aun, misal: Fir’aun, Qarun, Haman.
d. Dimakruhkan memberi nama anak dengan nama-nama hewan yang telah dikenal akan sifatsifat jeleknya, misal: Anjing, keledai dll.
e. Dimakruhkan memberi nama anak dengan Ism, mashdar, atau sifat-sifat yang menyerupai terhadap lafzdz “agama” (ﺍﻠﺪﻴﻦ), dan lafadz “Islam” (ﺍﻹﺴﻼﻢ) , misal: Nurruddin, Dliyauddin, Saiful Islam dll.
f. Dimakruhkan memberi nama ganda, Maksudnya adalah memberikan nama anak dengan dua nama, yang mana nama tersebut terdapat dalam satu orang. Misal Muhammad Ahmad, nama Muhammad dan Ahmad dimiliki oleh satu orang, dan Ahmad bukanlah nama bapaknya. Misal: Muhammad Ahmad, Muhammad Sa’id dll.
g. Para ulama memakruhkan memberi nama dengan nama-nama surat dalam Al-Qur’an, misal: Thoha, Yasin dll.
Jalan Keluar Antara Haram - Makruh
Jalan keluar dari kedua hal ini adalah merubah nama-nama tersebut dengan nama-nama yang disukai (mustahab) atau yang diperbolehkan secara syar’i. Dan untuk merubah nama ini kita dapat mendatangi kementrian/depertemen yang mengurusi masalah ini.
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah nama-nama yang mengandung makna kesyirikan kepada Allah kepada nama-nama Islamiy, dari nama-nama kufur kepada nama-nama imaniyah. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam merubah nama-nama yang jelek menjadi nama-nama yang baik” (HR. AT-Tirmidzi).
Demikianlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah nama-nama yang jelek dengan nama – nama yang baik, seperti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah nama Syihab menjadi Hisyam dll. Demikian juga kita mesti merubah nama-nama yang buruk menjadi nama-nama yang baik, misal: Abdun Nabi menjadi Abdul Ghoniy, Abdur Rasul menjadi Abdul Ghofur, Abdul Husain menjadi Abdurrahman dll. Wallahu A’lam. [Referensi : Tasmiyah Al-Maulud, Syaikh Bakr Abu Zaid, dll.]
.
Selengkapnya...
Mereka… yang “Tersembunyi”
Tentang al-Alkhfiya’. Mereka adalah orang–orang yang sepi, tersembunyi. Mereka adalah orang – orang yang memahami benar bahwa beramal -sekecil apaun itu- semata-mata demi Allah Ta’ala saja. Tidak untuk yang lain. Dan mereka selalu ada di setiap zaman. Namun begitulah, sungguh tidak mudah menjumpai mereka. Bahkan teramat sulit. Sebab mereka adalah orang-orang yang tersembunyi.
Orang – orang seperti mereka benar-benar tidak pandai bertingkah demi menarik simpati manusia. Tanpa bermaksud merendahkan sesama manusia, namun para manusia bagi mereka sangat tidak pantas untuk dijadikan sumber simpati, penghargaan dan perhormatan. Simpati yng mereka cari adalah simpati Sang Agung, Allah Azza wa Jalla. Karenanya, mereka tidak akan pernah berlagak khusyu’ dan zuhud di hadapan manusia, lalu kehilangan –dari sifat khusyu’ dan zuhud – saat berhadapan dengan Allah Sang Khalik.
Sehingga, sangatlah pantas, jika perikehidupan mereka kemudian menjadi inspirasi bagi kita. Berikut kami sajikan, sebagian darinya. Kisah teladan yang tersimpan dalam lipatan – lipatan sejarah manusia shalih, para al-Akhfiya sepanjang zaman. Selamat membaca!. ********************
Apakah Anda tahu seorang tabi’in yang mulia bernama Muhammad bin Sirin?. Semoga Anda tahu atau kelak akan mengetahuinya. Muhammad bin Sirin bila bersama manusia di siang hari ia justru seringkali tertawa. Namun saat malam mulai merangkak memeluk bumi, bila engkau melihat bagaimana ia beribadah dan bermunajat ia menjelma bagai orang yang telah membunuh semua penghuni sebuah desa. Seolah ia telah melakukan dosa yang tak terampunkan. Jiwanya begitu mudah untuk merasa sedih dan takut akan kelalaian dan dosa-dosa.
Ia juga pernah bertutur, ”Jadilah orang yang menyukai status khumul dan membenci popularitas. Namun jangan engkau tampakkan bahwa engkau menyukai status rendah itu sehingga menjadi tinggi hati. Sesungguhnya mengklaim diri sendiri sebagai orang zuhud, justru mengeluarkan dirimu dari kezuhudan. Karena dengan cara itu, kamu menarik pujian dan sanjungan untuk dirimu”. Khumul dalam perkataan beliau adalah status tersembunyi dan tidak dikenal. Bukan berarti sikap malas. (Lihat ”Al Qamus Al Muhith”, materi kata Khamula).
Dari Habib bin Abu Tsabit diriwayatkan bahwa ia berkata : ”Suatu hari Abdullah bin Mas’ud keluar dari rumah. Tiba – tiba orang –orang mengikutinya. Beliau kemudian berkata : ”Apakah kalian membutuhkan sesuatu?, mereka menjawab : ”Tidak, kami hanya ingin berjalan bersamamu”. Beliau berkata: ”Pulanglah!, yang demikian itu adalah kehinaan bagi yang mengikuti dan malapetaka bagi yang diikuti”. Beliaupun suatu ketika pernah berkata : ”Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui tentang diriku sendiri, niscaya kalian (akan) menaburkan tanah di atas kepalaku”.
Seorang tabi’in besar lain bernama Ayyub As-Sikhtiyany pernah mengatakan, ”Sungguh demi Allah! Seorang hamba belum benar-benar jujur menghamba kecuali bila ia telah merasa gembira saat tidak ada seorang makhluk pun mengetahui di mana ia berada”. Dan tabi’in yang satu ini bila mengajarkan hadits – hadits Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lalu hatinya tersentuh hingga matanya hampir menangis, ia segera menolehkan wajahnya dan membuang ludah seraya berkata, ”Sakit flu ini terasa agak berat”. Ia seolah-olah sedang sakit. Ia melakukannya demi menutupi air matanya yang hampir jatuh.
Begitulah mereka. Selalu saja ada cara-cara para al-akhfiya’ itu untuk menutupi amalan shalih mereka dari pandangan manusia.
Bahkan yang juga tak kalah mengagumkannya,kisah tentang seorang tabi’in lain bernama Muhammad bin Wasi’ pernah bertutur, ”Ada orang yang selama dua puluh tahun lamanya sering menagis (karena Allah) namun selama itu pula tidak sekali pun istrinya mengetahui tangisannya”.
Subhanallah! Seorang wanita yang begitu dekat dengannya, selama dua puluh tahun tidak mengetahui bagaimana ia melewati malam-malamnya dengan tangisan kepada Allah.
Kisah lain adalah kisah seorang ’alim besar bernama Imam Al Mawardy. Salah satu karyanya yang mungkin sangat Anda kenal adalah Al-Ahkam As-Sulthaniyah, sebuah krya besar dalam bidang politik Islam. Ternyata semua karya ilmiah beliau tak satu pun muncul ketika beliau masih hidup. Semua karya beliau tersembunyi di suatu tempat. Saat kematiannya semakin mendekat, ia berpesan kepada seorang yang ia percaya, ”semua kitab yang di tempat fulan itu adalah karya-karyaku. Kelak bila aku telah berhadapan dengan sakaratul maut, letakkanlah tanganmu di telapak tanganku. Bila saat ruhku lepas dan ternyata aku menggenggam tanganmu, itu pertanda Allah tidak menerima satupun karya-karyaku itu. Kumpulkanlah semuanya lalu buanglah ia ke sungai Dajlah saat malam tiba. Namun bila telapak tanganku terbuka dan tidak menggengam tanganmu, maka itu pertanda aku telah beruntung dan aku telah menulisnya dengan niat yang ikhlas” .
Demikianlah pesan sang Imam. Saat kematian benar-benar berada di sisinya, lalu ruhnya kembali kepada Sang Pencipta, ”Telapak tangannya terbuka dan tidak menggenggam tanganku”. Aku pun sadar bahwa itu pertanda ia diterima oleh Allah. Maka aku pun menyebarkan karya-karyanya sepeninggalnya”, ujar orang kepercayaan sang Imam itu.
Rasul kita yang mulia, Muhammad bin Abdillah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : ”Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang taqiy, ghaniy, dan khafiy. (HR. Muslim). Taqiy adalah mereka yang melaksanakan segala yang diwajibkan oleh Allah dan menjauhi segala laranganNya, semata-mata ingin meraih keridhaanNya dan takut akan adzab dan sikasaanNya. Ghaniy adalah mereka yang senantiasa menjaga dirinya , dengan tidak meminta kepada manusia. Ia (hanya) bertopang terhadap rezeki pemberian Allah yang ia dapatkan dari usahanya. Sedangkan khafiy -dan ini yang menjadi bahasan kita- adalah mereka yang tidak menyebut-nyebut amal kebaikannya dan senantiasa menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah.
Ada juga ungkapan Imam Syafi’i (Ah, siapa yang tak kenal dengan imam yang satu ini). Dorongan keihklasan yang kuat mendorongnya suatu ketika untuk mengatakan, ”Sungguh aku mengangankan andai saja manusia dapat mengetahui ilmu (yang kuajarkan) ini tanpa ada satupun yang dinisbatkan (disandarkan) kepadaku selama-lamanya, sehingga dengan begitu aku mendapatkan pahala tanpa perlu mendapatkan pujian manusia”.
Duhai, betapa beratnya mencapai derajat mereka! Derajat para akhfiya’. Kafilah manusia-manusia tersembunyi. Wallahu A’lam. (abm).
Referensi :
Aina Nahnu Min Akhlaq As Salaf., Abdul Aziz bin Nashir Al Jalil. Penjelasan Hukum dari Kitab Bulughul Maram, Abdullah bin Abdurahman Al Bassam. Perindu-Perindu Malam, Abul Miqdad Al Madany..
Selengkapnya...
“Cerdas” Beribadah
Cerdas. Sebuah kata yang begitu lazim di telinga kita. Ketika mendengarnya,membacanya, maka mungkin kesan yang akan muncul di benak kita adalah dunia pendidikan. Demikanlah. Karena memang, kecerdasan -terkadang- identik dengan prestasi.
Tetapi, yang akan kami bahas di sini, bukanlah makna ”cerdas” dalam aspek di atas. Melainkan, makna ”cerdas” dalam perspektif yang lebih besar. Ya, bahkan dalam perkara yang teramat penting. Perkara yang dengannya kita diciptakan olehNya. Kecerdasan dalam beribadah.
Marilah kita simak. Semoga kami, Anda dan siapa pun yang membacanya memperoleh faidah.
*******************************
Bahwa kita diciptakan untuk beribadah, itu tentu sudah pasti. Namun apakah setiap orang yang rajin beribadah akan serta merta dikatakan telah cerdas beribadah?. Rasanya tidak ada jawaban yang tepat untuk menjawabnya kecuali : Tidak! Kerajinan beribadah tentu saja tidak identik dengan kecerdasan beribadah. Seab banyak orang meletihkan dan melelahkan dirinya untuk “sekedar” –seperti sangkaan mereka– menumpuk berbagai ibadah. Seperti pengembara yang menempuh perjalanan dengan memanggul sebuah kantong yang isinya tak lebih dari bermilyar-milyar pasir. Tak berguna.
Betapa seringnya kita dibuat kagum ketika membaca betapa tidak letih - letihnya orang – orang shaleh (salaf) terdahulu menunjukkan penghambaan mereka. Kisah mereka bagai dongeng saja. Lalu kita pun secara serta merta selalu ingin meniru mereka. Persis. Tanpa melakukan perhitungan yang cerdas. Bila mendengarkan bahwa Imam Ahmad –misalnya- mengerjakan shalat sunnat 200 raka’at dalam satu hari, maka kita pikir kita pun seharusnya melakukan hal yang sama. Bila membaca bahwa seorang ’Atha Bin Abi Rabah radhiallahu ’anhu -misalnya- tidur di masjid selama 20 tahun lamanya, kita pun menganggap bahwa untuk menjadi shaleh kita harus pula demikian.
Begitulah seterusnya. Kita berputar dalam lingkaran kekaguman yang membuat kita tidak melihat dan menyimpulkan secara tepat. Kita tidak coba untuk merenungkan bagaimana mereka mengalami proses perjuangan meundukkan nafsu hingga dapat melakukan itu semua. Kita idak pikirkan tentang keistiqamahan dan konsistensi mereka menjalankan itu semua. Kita tidak pikirkan bahwa untuk ke puncak itu, mereka harus melewati sebuah niat yang lurus, tulus dan kuat. Bahwa kita butuh melihat konsistensi kita. Kita lupa bahwa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam mengatakan : ”Sebaik-baik amalan adalah yang sedikit namun berkelanjutan”.
Maka di penghujung jalan, kita pun mengalami kemunduran, kejemuan dan keletihan. Setelah mengerjakan 200 raka’at di hari pertama, mungkin di hari-hari esoknya tak satu raka’at pun yang tertegakkan. Sebab jiwa kita trauma, ia letih. Syukur-syukur jika ia tidak membenci shalat sunnat itu.
Namun demikianlah, kita harus cerdas dan pandai mengukur diri. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak pernah membebani jiwa manapun bila tidak sesuai kemampuannya.
Ada banyak cahaya kecerdasan beribadah yang terwariskan kepada kita. Salah satunya adalah kisah yang dialami oleh sahabat nabi yang mulia, namanya Tamim Ad-Dary radhiallahu ’anhu.
Seorang pria pada suatu ketika mengunjunginya. Tujuannya hanya satu. Ingin mengetahui bagaimana Tamim Ad-Dary menyelesaikan ayat demi ayat dalam al-Qur’an.
”Barapa banyakkah wirid dan ayat Anda baca setiap harinya?” tanya pria itu membuka percakapan mereka.
”Hmmm, barangkali engkau ini termasuk orang yang membaca al-Qur’an di malam hari, lalu di pagi harinya ia kemudian mengatakan kepada orang lain : ’Malam ini aku telah membaca al-Qur’an”. Sungguh demi Allah, wahai saudaraku, bila aku mengerjakan shalat tiga raka’at saja di malam itu jauh lebih aku senangi daripada menyelesaikan al-Qur’an dalam satu malam namun di pagi harinya aku kemudian menceritakanya kepada orang lain”, jawab Tamim Ad-Dary.
Nampaknya pria itu kemudian sedikit agak emosi mendengar jawaban Tamim Ad-Dary. Ia hanya terkejut saja menyimak jawaban itu. Maka ia berujar, ”Ah, kalian para sahabat nabi, seharusnya yang masih hidup dari kalian ini diam saja dan tidak usah berbicara. Kalian justru tidak mau mengerjakan ilmu kalian, malah kalian justru menyalahkan orang yang bertanya pada kalian!”.
”Jangan salah paham, saudaraku. Sekarang apakah engkau mau kujelaskan suatu hal yang mungkin tidak engkau pahami?”, tanya Tamim Ad-Dary dengan sedikit lembut.
”Cobalah engkau renugnkan”, lanjut Tamim. ”Jika saja aku ini seorang mu’min yang kuat dan engkau adalah seorang mu’min yang lemah, lalu engkau berusaha membawa bebanku dengan segala kelemahanmu, hingga akhirnya engkau kemudian tidak sanggup memikulnya. Menurutmu, apakah yang akan terjadi? Engkau hanya akan mengalami sebuah kejemuan dalam beribadah. Demikan pula sebaliknya. Engkau seorang mu’min yang kuat dan aku yang lemah ini mencoba memikul bebanmu. Tentu aku akan mengalami sebuah kejemuan pada akhirnya.
Maka, saudaraku, berikanlah sesuatu yang sesuai batas dirimu untuk dien ini, dan ambillah dari dien ini apa yang engkau mampu untuk melaksanakannya secara perlahan. Hingga akhirnya kelak engkau dapat istiqamah dan konsisten mengerjakan ibadah yang mampu engkau tegakkan”.
Sebuah nasehat yang bijak. Sederhananya adalah kita bercita-cita menggapai surga tertinggi, Firdaus, dan dalam meniti jalan ke sana kita melaluinya dengan kesederhanaan yang berkualitas. Kesederhanaan yang dapat membuat kita istiqamah dan langgeng dalam penghambaan kepadaNya. Mengerjakan yang kecil. Dan mulai sejak sekarang. Bukankah rasul kita yang mulia, -sekali lagi- Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam berkata : ”Sebaik-baik amalan adalah yang berkelanjutan meskipun sedikit?. Inilah inti ibadah yang cerdas. Maka pahamilah, saudaraku !!.
Wallahu A’la Wa A’lam. (abm)
Referensi :
Perindu-Perindu Malam, Abul Miqdad Al Madany. Mujahid Press.
Selengkapnya...
TERJEMAHAN
NASEHAT SALAF
PESAN ISLAM
ARSIP
-
▼
2009
(30)
-
▼
April
(24)
- Bid’ah : Kenali dan Jauhi ! (1)
- Seputar Shalat Jama’ dan Qashar
- Waktu – Waktu Shalat
- Shalat Menghadap “Sutrah”
- Sifat Shalat Nabi (2)
- Sifat Shalat Nabi (1)
- Karena Tidak Semua yang Engkau Tahu, Harus Teruca...
- Kepada Anda yang Sedang Sakit, Berbahagialah !
- Bagaimana Memberi Nama Bagi Anak Anda ? ( Untuk An...
- Mereka… yang “Tersembunyi”
- “Cerdas” Beribadah
- Surat Untuk Anda, Wahai Perokok !
- Tahukah Anda, Benda-Benda Najis di Sekitar Kita ?
- Permasalahan Dalam Berdoa
- Menyikapi Natal dan Tahun Baru
- Panduan ‘Iedul Qurban
- MAHRAM ( 2 - selesai )
- M A H R A M (1)
- Adab Majelis
- Abdurrahman Bin ‘Auf
- Tanda Husnul Khatimah
- Keutamaan Sholat Berjama’ah
- Bacalah ! Niscaya Akan Engkau Dapatkan ...
- Sebesar Gunung Seringan Debu
-
▼
April
(24)