Assalamu Alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh... Ahlan Wa Sahlan ... Semoga Anda Memperoleh Manfaat ... Jazakallahu Khairan Atas Kunjungannya ...

Rabu, 29 April 2009

Waktu – Waktu Shalat

Mengerjakan shalat pada waktunya termasuk amalan yang paling dicintai oleh Allah. Sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu kepada Sa’ad bin Iyas. Beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai Allah ‘Azza wa Jalla?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya” kemudian aku berkata, “Kemudian apa?”. Beliau berkata, “Berbakti kepada kedua orang tua”. Kemudian aku berkata, “Kemudian apa?”. Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah” (HR. Bukhari [527] dan Muslim [85]).

Hadits di atas mengandung dorongan agar menjaga shalat di waktu-waktu yang telah ditentukan untuk melakukannya. Sedangkan yang dimaksud shalat pada waktunya adalah mengerjakannya di waktu yang telah ditentukan.

Batasan Waktu Shalat

SHALAT ZHUHUR : Dari sejak tergelincirnya matahari ke arah barat (zawal) sampai bayangan benda sama panjang dengan tingginya. Imam Malik dan sekelompok ulama yang lain berpendapat apabila bayangan benda sudah sama panjang dengan tingginya maka waktu ashar sudah masuk namun waktu zhuhur belum dianggap keluar, bahkan waktu untuk shalat zhuhur masih berlaku seukuran lamanya seseorang melakukan shalat empat rakaat untuk menunaikan shalat zhuhur, dan dia tidak dinilai melakukan shalat di luar waktu yang semestinya. Sedangkan Imam Syafi’i demikian juga an-Nawawi berpandangan bahwa waktu terakhir shalat zhuhur adalah apabila bayangan benda sama panjang dengan tingginya tanpa ada waktu tambahan sesudahnya seukuran shalat empat rakaat (Syarah Nawawi li Nawawi, 3/420, lihat juga Subul as-Salam, 2/6. cet. Dar Ibn al-Jauzi).

SHALAT ‘ASHAR : Dari sejak bayangan benda sama panjang dengan tingginya hingga terbenam matahari. Waktu ‘Ashar ada dua macam : waktu jawaaz/boleh shalat dan waktu dharurah/terjepit. Waktu jawaaz sejak bayangan benda sama panjang dengan tingginya hingga matahari tampak menguning. Apabila matahari sudah menguning maka waktu itu adalah waktu yang boleh tapi makruh, melakukan shalat ketika itu tetap dinilai sah dan belum dianggap keluar waktu (lihat Syarah Nawawi, 3/420). Shalat ‘ashar yang sengaja dikerjakan di saat matahari sudah menguning disebut sebagai shalatnya orang munafiq. Adapun waktu dharurah berakhir dengan terbenamnya matahari.

SHALAT MAGHRIB : Dari sejak matahari tenggelam (kurang lebih selama 35 menit, sebagaimana dikatakan oleh Majid al-Hamawi dalam ta’liqnya terhadap Matn al-Ghayah wa at-Taqrib hal. 59, kemudian setelah itu waktu yang makruh) sampai hilangnya warna kemerahan di langit

SHALAT ‘ISYA : Dari sejak hilangnya warna kemerahan di langit sampai pertengahan malam, ini disebut waktu jawaaz/boleh atau waktu mukhtar/terpilih (sebagian yang lain berpendapat sampai sepertiga malam pertama). Sedangkan waktu dharurat terus berjalan sampai datangnya fajar/waktu subuh (sebagian yang lain berpendapat ini masih termasuk waktu jawaz, namun apabila ditunda sampai menjelang adzan subuh maka hukumnya makruh).

SHALAT SUBUH : Awal waktunya sejak terbitnya fajar shadiq (yaitu fajar kedua, kurang lebih 20 menit setelah fajar pertama). Jika sengaja ditunda hingga muncul warna kemerahan di langit maka makruh. Dan terakhirnya adalah ketika terbitnya matahari (pembahasan ini disarikan dari al-Wajiz, hal. 60-62, al-Munakhkhalah, hal. 33 dengan sedikit penambahan dan perubahan, lihat juga Matn al-Ghayah wa at-Taqrib, hal.58-59).

Dalil-dalil ketentuan di atas adalah hadits-hadits berikut ini :

[1] Hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah didatangi Jibril ’alaihi salam. Jibril berkata kepada beliau, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Zhuhur ketika matahari sudah tergelincir. Kemudian ia datang lagi di waktu ‘Ashar. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat ‘Ashar ketika bayangan segala sesuatu sama panjang dengan tingginya. Kemudian ia datang lagi di waktu Maghrib. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Maghrib ketika matahari sudah tenggelam. Kemudian ia datang di waktu ‘Isya. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Isya ketika warna merah di langit telah hilang. Kemudian ia datang di waktu Shubuh. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Shubuh ketika fajar telah terbit, atau dia berkata, ketika fajar telah terang. Keesokan harinya Jibril datang lagi di waktu Zhuhur. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Zhuhur ketika bayangan benda sama dengan tingginya. Kemudian ia datang di waktu ‘ashar. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat ‘Ashar ketika bayangan benda dua kali tingginya. Kemudian ia datang di waktu maghrib sama sebagaimana kemarin. Kemudian dia datang di waktu Isya. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka nabi mengerjakan shalat ‘Isya ketika separuh malam hampir berlalu, atau dia berkata ketika sepertiga malam telah berlalu. Kemudian ia datang di waktu fajar sudah sangat terang. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat shubuh. Kemudian Jibril berkata, “Di antara dua waktu inilah waktu untuk shalat.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi, shahih. Lihat al-Irwa’ 250, dinukil dari al-Wajiz hal. 59-60).

[2]. Hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waktu zhuhur adalah apabila matahari sudah tergelincir [ke barat] sampai panjang bayangan seorang lelaki sama panjang dengan tingginya, selama waktu ashar belum tiba. Waktu ashar adalah selama matahari belum menguning. Waktu shalat maghrib adalah selama warna merah [di langit] belum hilang. Sedangkan waktu shalat Isya berlangsung hingga separuh malam yaitu pertengahannya. Adapun waktu shalat shubuh adalah sejak terbitnya fajar, demikian seterusnya selama matahari belum terbit. Apabila matahari sudah terbit tahanlah dari melakukan shalat. Karena sesungguhnya matahari itu terbit di antara dua tanduk syaitan.” (HR. Muslim [612/1387]).

[3] Hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Anas berkata; Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (tentang orang yang mengakhirkan shalat ‘Ashar hingga matahari berada di antara dua tanduk syaitan, pent), “Itu adalah shalat orang munafik, dia duduk sambil mengamat-amati matahari. Sampai apabila matahari telah berada di antara dua tanduk syetan maka diapun mengerjakan shalat 4 raka’at dengan gerakan shalat yang amat cepat. Dia tidak mengingat Allah kecuali amat sedikit.” (HR. Muslim [622], Syarah Nawawi 3/431).

Waktu Shalat Yang Disukai/Mustahab
Di antara waktu – waktu shalat yang telah disebutkan di atas, terdapat waktu-waktu yang disenangi atau dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengerjakannya. Waktu – waktu tersebut adalah :

[1] Disunnahkan mengerjakan shalat Zhuhur di awal waktu namun menundanya jika panas matahari sangat terik.
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu’anhu, dia berkata : Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat zhuhur ketika matahari mulai bergeser ke barat (HR. Muslim [618]). Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan disunnahkan mengerjakan shalat zhuhur di awal waktu, dan inilah pendapat yang dipegang oleh asy-Syafi’I dan jumhur (mayoritas ulama).” (Syarh Nawawi, 3/429).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila panas sangat terik maka tunggulah sampai agak dingin untuk mengerjakan shalat, karena sesungguhnya panas yang sangat terik itu berasal dari pancaran panas Jahannam” (HR. Bukhari [536] dan Muslim [615]). Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa perintah untuk menunda shalat hingga cuaca agak dingin adalah perintah anjuran/istihbab (lihat Fath al-Bari, 2/20).

[2] Disunnahkan menyegerakan shalat ‘Ashar.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu shalat ‘Ashar dalam keadaan matahari masih cukup tinggi dan masih agak panas. Sehingga apabila ada seseorang yang pergi menuju kota di sekitar Madinah (sesudah shalat) niscaya dia akan sampai di sana dalam keadaan matahari masih cukup tinggi (Bukhari [550] dan Muslim [621]). al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyegerakan shalat ‘Ashar, hal itu dikarenakan di situ disebutkan bahwa ketika orang-orang kembali dari pergi menempuh perjalanan sejarak 4 mil (ke kota lain di sekitar Madinah setelah shalat dikerjakan. pent) ternyata matahari masih cukup tinggi (Fath al-Bari, 2/35).

[3] Disunnahkan menyegerakan shalat Maghrib.
Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu’anhu, dia menceritakan, “Dahulu kami biasa mengerjakan shalat maghrib bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah itu apabila ada salah seorang di antara kami yang pulang ke rumah maka dia masih bisa melihat tempat-tempat jatuhnya anak panahnya.” (HR. Bukhari [559] dan Muslim [637]). Hal itu menunjukkan bahwa mereka mengerjakan shalat maghrib di awal waktunya (lihat Fath al-Bari, 2/50 dan Syarh Nawawi, 3/442). Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umatku senantiasa berada dalam kebaikan atau di atas fitrah selama tidak mengakhirkan shalat Maghrib sampai bintang-bintang mulai tampak bertaburan.” (HR. Abu Dawud [354]).

[4] Disunnahkan mengakhirkan shalat ‘Isya bila memungkinkan.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat di akhir malam pada suatu saat sampai-sampai sebagian besar waktu malam telah berlalu dan sampai orang-orang yang di masjid tertidur. Kemudian beliau bersabda, “Inilah waktu yang paling utama (untuk shalat Isya) seandainya aku tidak khawatir menyusahkan umatku (niscaya aku akan mengakhirkannya)” (HR. Muslim [638]). Yang dimaksud mengakhirkan adalah mengerjakannya dengan diakhirkan sebelum pertengahan malam, karena tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat bahwa mengerjakan shalat Isya selepas pertengahan malam adalah lebih utama (Syarh Nawawi, 3/444). Dan mengakhirkan waktu shalat isya di sini, ketika kondisinya tidak menyusahkan jama’ah (lihat Manhaj as-Salikin, hal 54-55).

[6] Disunnahkan mengerjakan shalat Shubuh di awal waktu.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Dahulu wanita-wanita beriman di jaman Nabi ikut menghadiri shalat Fajar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan tertutupi pakaian yang menyelimuti kepala dan tubuh mereka. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika shalat sudah selesai, tidak ada seorangpun yang mengenali mereka karena keadaan masih gelap” (HR. Bukhari [578] dan Muslim [645]).

Catatan : Lantas bagaimana dengan daerah/wilayah yang memiliki waktu siang dan malam yang tidak seimbang? Bagaimana mereka menentukan waktu-waktu shalat?
Maka dalam hal ini, Sebagian ulama berpendapat, hal itu diperkirakan dengan waktu yang pertengahan, malam diperkirakan 12 jam, dan demikian pula siangnya. Sebagian ulama lainnya berpendapat, waktu shalat diperkirakan dengan melihat negeri yang dekat dari daerah tersebut (yang memiliki waktu siang dan malam yang seimbang). Inilah pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kenyataan. Wallahu a`lam.

Mendapatkan Waktu Shalat
Waktu shalat diperoleh minimal dengan mengerjakan 1 raka’at shalat sebelum keluar waktunya. Nabi bersabda, “Barangsiapa mendapatkan satu raka’at shalat sungguh dia telah mendapatkan (hukum waktu) shalat” (HR. Bukhari [580] dan Muslim [607. Begitu pula dalam hadits Hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata ; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at shalat ‘Ashar sebelum matahari terbenam maka dia telah mendapatkan shalat ‘Ashar” (HR. Muslim [608] Syarah Nawawi 3/416).

Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa orang yang mendapati satu rakaat dari waktu shalat dengan dua sujudnya, maka sungguh ia telah mendapati waktu shalat tersebut. Begitu juga pemahaman kebalikannya, barangsiapa yang mendapati kurang dari satu rakaat, dia tidak dianggap mendapati waktu shalat tersebut. Akan tetapi, perlu memperhatikan dua perkara berikut ini :

[1]. Apabila telah mendapati satu rakat shalat, maka ia dianggap telah mengerjakan shalat secara utuh, akan tetapi bukan berarti boleh mengakhirkan shalat dari waktunya, karena shalat itu wajib dikerjakan pada waktunya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu `anhu dia mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabada (yang artinya), “Itulah shalat orang munafik. Dia duduk menunggu matahari, sampai matahari telah berada diantara dua tanduk setan, baru mengerjakan shalat empat rakaat, tidak mengingat Allah di dalam shalatnya kecuali sedikit.” (HR. Muslim)
[2]. Apabila ia telah mendapati waktu shalat seukuran satu rakaat, wajib atasnya mengerjakan shalat. Perhatikan contoh berikut ini :
 Seorang wanita mendapat haid setelah terbenamnya matahari seukuran satu rakaat atau lebih dan ia tidak shalat Maghrib, maka tidak wajib atasnya mengerjakan shalat Maghrib dengan mengqadhanya ketika telah suci.
 Seorang wanita telah suci dari haid sebelum terbitnya matahari seukuran satu rakaat atau lebih, maka wajib atasnya shalat Shubuh.

Waktu-Waktu Terlarang Untuk Shalat
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami dari mengerjakan shalat dan menguburkan orang yang mati diantara kami di waktu tersebut : yaitu ketika matahari mulai terbit hingga meninggi, ketika bayangan tepat dibawah benda hingga matahari tergelincir dari tengah-tengah, ketika matahari condong ke arah barat akan tenggelam hingga tenggelam (HR. Muslim [831]).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan alasan larangan ini yaitu karena ketika matahari terbit ia berada di antara dua tanduk syetan, dan ketika matahari tepat di atas kepala api jahannam sedang dinyalakan, sedangkan ketika matahari tenggelam ia berada diantara dua tanduk syetan, dan ketika itulah orang-orang kafir bersujud. Shalat yang terlarang dilakukan pada waktu-waktu tersebut adalah shalat sunnah mutlak yang tidak memiliki sebab, sehingga di waktu itu boleh mengerjakan shalat karena suatu sebab seperti shalat mengqadha’ shalat yang luput, shalat sunnah tahiyatul masjid, shalat sunnah setelah wudhu’ dsb.(diringkas dari al-Wajiz, hal. 64-66). Wallahu A’lam. (Dari beberapa sumber).

0 komentar:

Posting Komentar