Assalamu Alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh... Ahlan Wa Sahlan ... Semoga Anda Memperoleh Manfaat ... Jazakallahu Khairan Atas Kunjungannya ...

Rabu, 29 April 2009

Shalat Menghadap “Sutrah”

Shalat memiliki kedudukan yang agung dalam Islam karena dia merupakan tiang agama, perkara pertama yang akan dihitung dari amalan seorang hamba pada hari kiamat, terdapat perintah untuk menjaganya dan menegakkannya sebagaimana yang termaktub di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Namun demikian, sungguh kebanyakan kaum Muslimin tidak mengetahui hukum-hukum dan kewajiban yang berhubungan dengan tata cara melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam khususnya masalah yang berkaitan dengan Sutrah (Pembatas) dalam Shalat, baik manakala shalat sendiri ataupun berjama’ah. Padahal perkara ini berkaitan erat dengan kesempurnaan shalat sesseorang.

Mengingat urgensi permasalahan ini maka dalam edisi kali ini, kami menuliskannya secara ringkas. Semoga Allah memberikan taufiqNya. Amin.

Definisi Sutrah
a. Secara Bahasa. Dari sisi bahasa kata sutrah adalah bentuk kata benda dari kata kerja sa-ta-ra berarti menutupi. Maka sutrah berarti sesuatu yang menutupi. (Lihat, al Mishbah al Munir)

b. Secara Istilah. Adapun dari sisi istilah syara’ sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai pembatas seseorang yang sedang mendirikan shalat dengan orang yang berjalan di depannya dan secara rinci akan datang penjelasan selanjutnya.

Hukum Sutrah
Mayoritas ulama’ berpendapat dianjurkannya sutrah sebagai pembatas antara seseorang yang sedang mendirikan shalat dengan kiblat, hanya mereka berbeda pendapat dalam hal apakah hukumnya wajib atau tidak? Dan apakah sutrah dengan menggunakan garis telah mencukupi?

Berkaitan dengan permasalahan ini, para ulama’ berbeda pendapat, yakni :
a. Wajib. Sebagian ulama’ mengatakan wajib. Mereka beralasan dengan beberapa hadits, di antaranya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudriy, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang diantara kamu mendirikan shalat, maka hendaklah ia shalat ke arah sutrah dan mendekatinya, dan jangan membiarkan seseorang lewat di antara keduanya. Maka jika seseorang datang dan lewat (di antara keduanya) maka cegahlah (dengan tangan)dan tahanlah dia dengan keras karena dia adalah(amalan)syaithan .” (HR. Abu Dawud, 1/111; Ibnu Majah, 1/307; Ibnu Abi Syaibah, 1/279; dan selain mereka) dan Dalam riwayat yang lain beliau bersabda: “Maka sesungguhnya syaithan lewat di antara dia dan sutrah.”
Hadits riwayat Abdullah bin Mughaffal dan selainnya bahwa Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Yang membatalkan shalat adalah (lewatnya) anjing hitam, keledai dan wanita haid(dewasa).” (HR. Ahmad, 4/76; Ibnu Majah, 1/306)
Atsar dari para sahabat, di antaranya Ibnu Umar, Qurrah bin Iyas, Ibnu Mas’ud dan juga atsar dari Tabi’in di antaranya Ibnu Sirin dan Abu Ishaq telah menunjukkan disyari’atkannya permasalahan ini.
Dari hadits dan atsar di atas, telah jelas menunjukkan diwajibkannya permasalahan ini. Karena pada dasarnya setiap lafadz perintah dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengandung pengertian wajib, kecuali ada isyarat yang dapat memalingkan kepada hukum yang lain (sunnah) sementara tidak ada satupun isyarat yang menunjukkan demikian, bahkan para Sahabat-pun telah mengamalkan demikian dan mereka jelas-jelas tidak menyelisihinya. Allah Subhanaahu wa Ta’ala berfirman, Artinya: “Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kamu daripadanya “. (QS. Huud: 88)

b. Sunnah. Sebagian di antara ulama mengatakan hukum sutrah adalah sunnah. Mereka berpegang pada hadits riwayat Ibnu Abbas, dia berkata: “(Rasulullah) shalat bersama manusia (Sahabat) di Mina dan menghadap ke selain dinding, lalu aku berjalan di antara sebagaian shaf….”(HR. al-Bukhari, 1/181; 8/109; Ahmad, 1/243; Abu Dawud, 1/113 dan selain mereka)

Dan hadits ini secara tersirat dapat difahami bahwa beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat tidak menghadap ke sutrah.

Namun demikian pada hakekatnya hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah tentang disunnahkannya sutrah, karena beberapa alasan:

Tidak ada alasan bagi mereka yang mengunakan dalil ini bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan tidak memakai sutrah, karena para perawi hadits berselisih pendapat apakah kejadian tersebut terjadi di Mina atau di ‘Arafah. Namun pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa ini terjadi di ‘Arafah sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari jalan yang lain, dia berkata: “Aku menancapkan al-‘Anazah (sejenis tongkat/tombak) di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di ‘Arafah dan beliau shalat ke arahnya….” (HR. Ahmad, 1/243; Ibnu Khuzaimah, 2/26; dan ath-Thabraniy, 11/243).
Bahwa kalimat “menghadap ke selain dinding” sebagaimana yang termaktub di dalam hadits secara bahasa tidaklah mengandung makna tongkat, tombak, onta, tunggangan, atau batu dan selainnya yang dapat menutupi orang shalat secara mutlak, oleh karena itu al-Bukhari menyantumkan hadits dengan lafadz tersebut pada bab “Sutrah imam adalah sutrah bagi siapa saja yang berdiri dibelakangnya” untuk menjelaskan kebiasaan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menancapkan sejenis tombak/tongkat dan selainnya. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Hafidz di dalam kitabnya al-Fath al-Bari. Dan berkata Ibnu Turkumani, "Bahwa penyebutan tidak adanya dinding tidaklah selalu berkonotasi tidak adanya sutrah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perintah menggunakan sutrah bagi orang yang mendirikan shalat mengandung makna wajib berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan atsar para Sahabat dan Tabi’in. Wallohu A’lam

Batasan Sutrah

Berkenaan dengan batasan sutrah, maka ada dua hal yang seharusnya mendapat perhatian, yaitu:

1. Batasan orang yang shalat dengan sutrah

Telah ada penjelasan sebelumnya, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan terhadap orang yang mendirikan shalat agar mendekat terhadap sutrah sebagaimana termaktub di dalam beberapa hadits, dan salah satunya telah kami nukilkan sebelumnya.

Adapun batas terpanjang antara orang yang shalat dengan sutrah sebagaimana yang termaktub di dalam riwayat-riwayat yang ada menyatakan tiga dzira’ (tiga hasta) dan yang terpendek adalah dapat dilewati oleh seekor kambing. Sebagaimana atsar yang datang dari Sahl bin Sa’d, ia berkata: “Jarak antara tempat Nabi shalat dan dinding adalah dapat dilewati oleh seekor kambing” (HR. al-Bukhari, 1/574 dan Muslim, 4/225) Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa jarak tempat nabi dan kiblat adalah sebatas dapat dilewati seekor kambing.” (HR. Abu Dawud, 1/111)

Al-Imam an-Nawawiy berkata: Ulama’ dari kalangan kami telah menyatakan bahwa seyogyanya seorang yang sedang shalat mendekatkan dirinya ke arah sutrah dan tidak lebih dari tiga dzira’ (tiga hasta) (Lihat, Syarah Muslim, 4/217) atau sebatas dapat digunakan sujud sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Baghawiy, asy-Syafi’i dan Ahmad (Lihat, Syarh as-Sunnah, 2/447).

2. Batasan tinggi sutrah

Dalam masalah ini para ulama’ berselisih menjadi dua pendapat:
Pertama : Sebagaian ulama’ mengatakan bahwa batas minimal tinggi sutra adalah sehasta, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa haditsnya, di antaranya :
Hadits riwayat Thalhah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu meletakkan di antara dia (sesuatu) setinggi pelana onta, maka hendaklah dia shalat dan jangan menghiraukan siapapun yang lewat di belakangnya (sutrah).” (HR. Muslim, 4/216, 217)
Hadits riwayat ‘Aisyah, dia berkata: “Rasulullah pernah ditanya ketika perang Tabuk tentang sutrah orang shalat, maka beliau menjawab: seperti tinggi pelana onta.” (HR. Muslim, 4/216, 217).

Maka hadits di atas menunjukkan bahwa batas minimal tinggi sutrah yang dapat menutupi orang shalat dan menjaganya dari orang yang lewat adalah seperti tingginya pelana onta, yaitu sehasta dan dalam bentuk apa saja sebagaimana yang dikatakan oleh Qatadah, ‘Atha’, Ibnu Juraij (Lihat, HR. Abdur Razaq, 2/9; Abu Dawud, 1/109; dan Ibnu Khuzaimah, 2/11) dan tidaklah cukup baginya apabila kurang dari yang demikian kecuali dalam situasi yang tidak memungkinkan.
Kedua : Sebagian ulama’ mengatakan tidak ada batasan tinggi dalam sutrah, artinya apa saja dapat dijadikan sebagai sutrah meskipun dalam bentuk garis. Hal ini didasarkan atas riwayat Abu Hurairah dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian shalat, maka jadikanlah tempat wajahnya (dalam sujud) sesuatu (sebagai sutrah). Jika tidak ada hendaklah dia menancapkan tongkat, jika tidak ada maka hendaklah dia membuat garis sehingga tidak tidak ada sesuatupun yang lewat dapat mengganggunya.” (HR. Ahmad, dalam Fath ar-Rabbaniy: 3/127; Abu Dawud, 1/`27 dan Ibnu Majah, 1/303)

Namun demikian hadits ini tidak dapat digunakan sebagai hujjah (dalil) dalam masalah ini, dikarenakan beberapa hal:

Bahwa hadits di atas berbicara tentang seseorang yang tidak mendapat sutrah sebagaimana mestinya, maka dengan demikian tidak dapat dijadikan alasan kecuali dengan syarat tersebut.
Dari sisi sanad, hadits ini mudhtharib (guncang), karena dalam riwayat ini kadangkala perawinya mengatakan hadits ini diriwayatkan dari Abu Amr bin Harits dari bapaknya dari Abu Hurairah dan kadangkala mengatakan hadits ini diriwayatkan dari Abu Amr bin Muhammad bin Harits dari bapaknya dari Abu Hurairah dan kadangkala mengatakan hadits ini diriwayatkan dari Harits bin Amar dari Abu Hurairah dan lain-lain. (Lihat, Muqaddimah Ibnu Shalah, hal. 85; Talkhish al-Habir, 1/286 dan an-Nukat ‘ala Ibn Shalah, 2/772).

Dari argumentasi-argumentasi di atas jelaslah bagi kita bahwa pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa batasan tinggi minimal sutrah adalah sehasta, artinya dalam kondisi memungkinkan untuk mendapatkan sutrah setinggi tersebut maka tidak dibenarkan mencukupkan dengan garis atau sesuatu yang tingginya kurang dari sehasta kecuali dalam kondisi terpaksa.

Macam-Macam Sutrah

Sebagaimana yang termaktub di dalam hadits sebelumnya bahwa pada asalnya segala sesuatu yang setinggi mu’akhkharah ar-Rahl (setinggi pelana onta) maka dapat dijadikan sutrah. Dan sebagaimana telah ada dalam banyak riwayat, di antara bentuk sutrah yang pernah digunakan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah sebagai berikut :
Shalat menghadap dinding, sebagaimana Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat menghadap ke dinding masjid, dan dinding Ka’bah. (Lihat, HR. al-Bukhari, 2/212).
Shalat menghadap ke al-‘Anazah (sejenis tombak atau tongkat), sebagaimana hadits riwayat Ibnu Umar, yang termaktub di dalamnya lafadz al-‘Anazah. (Lihat, HR. Muslim, 4/218)
Shalat menghadap ke kendaraan (onta), sebagaimana hadits riwayat Ibnu Umar yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap ke hewan tunggangan (onta), sebagaimana telah ada riwayat yang menjelaskan selainnya (Lihat, HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih, 1/383)
Shalat menghadap ke pohon, sebagaimana hadits riwayat Ali bin Abi Thalib yang mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap ke pohon. (Lihat, HR. an-Nasa’i dalam al-Kubra dengan sanad yang hasan).
Shalat menghadap tempat tidur dan seorang istrinya sedang tidur, sebagaimana hadits riwayat ‘Aisyah yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap tempat tidur sedang dia dalam keadaan tidur berbaring. (Lihat, HR. al-Bukhari, 1/581; 3/201).
Demikian di antara bentuk sutrah yang pernah dipergunakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hal-Hal yang Berhubungan Dengan Sutrah

Berkaitan dengan hukum-hukum dalam permasalahan sutrah, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
Sutrah dalam shalat berjama’ah adalah tanggung jawab seorang imam. Jika dia tidak mengambil sutrah maka yang demikian adalah kesalahan dia dan bukan kesalahan makmum karena dalam shalat berjama’ah seorang makmum tidak wajib baginya sutrah sehinga tidak berhak mencegah orang yang lewat di depannya. Berdasarkan riwayat Ibnu Abbas yang menceritakan suatu ketika dia dan Fadl melewati di antara shaf pertama dengan menunggang keledai betina, namun tidak seorangpun dari Sahabat yang melarang dan mengingkarinya, bahkan Nabi pun tidak mengingkari. (Lihat, HR. Muslim, 4/224).
Seorang makmum masbuq (tertinggal satu raka’at atau lebih dalam shalat berjama'ah) maka baginya diperbolehkan mendekat ke tempat yang dapat dijadikan sutrah setelah imam salam, baik ke depan, ke sisi kanan atau ke sisi kiri, jika jaraknya dekat. Dan jika agak jauh maka baginya tetap berdiri dan berusaha menghindar dari orang yang melewatinya. Sebagaimana seorang yang menjadikan tunggangannya sebagai sutrah lalu tunggangannya menjauhinya, maka dalam kondisi demikian bukan kesalahannya. Sebagaimana yang dinukil az-Zarqaani dari Imam Malik. (Lihat, Syarah az-Zarqaani ‘ala Muhtashar Khalil, 1/208)
Jika seorang tidak mendapatkan sutrah setinggi yang ditentukan (yaitu minimal sehasta), maka harus baginya tetap mengambil sutrah apapun bentuknya. Allah Ta’ala berfirman: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ” (QS. at-Taghabun: 16). Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila aku telah perintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah darinya semampu kalian.” (HR. al-Bukhari, 13/251 dan Muslim).
Tidak diperbolehkan shalat menghadap ke kubur, sebagaimana hadits riwayat Abi Mirtsad, dia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian shalat menghadap ke kubur dan janganlah kalian duduk di atasnya.” (HR. Muslim, 7/37). Wallahu A’lam.

(Bahan Bacaan : Ahkaam as-Sutrah, Syaikh Muhammad bin Rizq bin Tharhuuniy , yang disadur oleh Husnul Yaqin Ibnu Arba'in).

0 komentar:

Posting Komentar