Assalamu Alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh... Ahlan Wa Sahlan ... Semoga Anda Memperoleh Manfaat ... Jazakallahu Khairan Atas Kunjungannya ...

Rabu, 29 April 2009

Sebesar Gunung Seringan Debu

Ada seorang yang selalu shalat berjama’ah di shaf pertama. Pada suatu hari, dia terlambat sehingga shalat di shaf kedua. Ia pun merasa malu kepada jama’ah lain yang melihatnya, dan hatinya pun tidak tenang karenanya.
Itulah orang yang ternyata ketenangan dan kesenangan hatinya shalat pada shaf pertama adalah karena pandangan manusia. Pada sat- saat dia biasa menunaikan di shaf pertama, mungkin dia tidak pernah merasa ada apa – apa. Tetapi ketika teritnggal dan tiba – tiba sikapnya berubah, itu adalah bukti bahwa yang dilakukannya selama ini masih terkontaminasi riya’.

Hakikat Riya’
Lazimnya orang yang mengerjakan suatu ibadah maka dia akan mengenyam ketentraman hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Akan tetapi sebagian orang, bukanlah ketentraman dan kebahagiaan yang kelak yang akan dia dapatkan, melainkan kecelakan , diantaranya wail. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman artinya : “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu orang-orang) yang lalai akan sholatnya, yang mereka itu berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna “. (QS.Al-Maa’uun : 4-7).
Awalnya riya’ adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan menunjukkan berbagai kebaikan kepada mereka. Dalam Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz 11/71, Imam Al-Qurthuby menyatakan, “Siapa yang menuntut selain ridha Allah dan kampung akhirat atas suatu amalan antara dia dan Allah, maka dia telah berbuat riya’.
Dari penjelasan Imam Al-Qurthuby di atas dapat dipahami bahwa riya’ pada amalan-amalan yang bersifat ta’abbudiyyah (ibadah) adalah haram. Misalnya seseorang berdiri memperbagus sholatnya dengan memanjangkan bacaannya, melamakan ruku’ atau sujudnya karena ingin dilihat atau dipuji orang lain yang kebetulan ada di dekatnya dan melihatnya.
Akan tetapi dalam beberapa kondisi, Syaikh Utsaimin rahimahullah [dalam Kumpulan Fatwa dan Risalah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 1, hal. 98-100] merincikan keadaan apabila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut:
Pertama, Dia memang ingin bertaqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik. Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman : “Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu ; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang didalamnya dia mempersekutukan-Ku dengan sesuatu selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya berserta kesyirikan yang diperbuatnya” (Shahih Muslim, kitab Az-Zuhd (2985)).
Kedua, Dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duaniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan bertaqarrub kepada Allah ; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman : “Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuai neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [QS. Hud : 15-16]
Perbedaan antara klasifikasi pertama dan kedua ; Bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi ini, dia tidak bermaksud agar dirinya di puji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadapn dirinya.
Ketiga, Dia bermaksud untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala, disamping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya –disamping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya ; dia berhaji –disamping niat beibadah kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi-lokasi syi’ar haji (Al-Masya’ir) dan bertemu para jama’ah haji ; maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala mengenai para jama’ah haji, artinya : “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabb-mu” [Al-Baqarah : 198]
Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Dikhawatirkan malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya : artinya : “Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat ; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah” [QS. At-Taubah : 58].
Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah ; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga ; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selain-Nya juga.

Lelah Tanpa Upah
Penyakit ini menjalar dengan kronis ke semua kalangan, namun nyaris tidak terdeteksi. Karena itulah riya’ adalah penyakit yang paling dikhawatirkan oleh Rasululah Shallalahu ‘Alahi Wasallam terjadi atas umatnya. Beliau Shallalahu ‘Alahi Wasallam bersabda : “Sesungguhnya yang paling aku takutkan (terjadi) atas kalian adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya, Apakah syirik kecil itu?, Beliau menjawab : “Riya’”. (HR. Ahmad). Sehingga seberat apapun kebaikan dan sebanyak apapun amal shalih dikerjakan, hanyalah aktivitas semu bak fatamorgana yang tak benilai jika didasari oleh riya’ dan bukan lillah. Al’jazaa’ min jinsil amal, ganjaran berbanding lurus dengan amalan.
Bukankah dalam sebuah hadits Rasululah Shallalahu ‘Alahi Wasallam menyebutkan, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur'an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori' atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka.
Demikian pula, kelak Allah ‘Azza wa Jalla akan membalas pelecehan orang-orang yang beramal karena riya’. Allah Subhanahu Wata’ala perintahkan kepadanya untuk meminta pahala kepada orang yang dharapkan pujiannya di dunia. Rasulullah Shallalahu ‘Alahi Wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman pada hari di mana amalan hamba akan diberi balasan, “Pergilah kepada orang yang dahulu kalian ingin dilihat amal kalian olehnya di dunia, adakah kalian mendapatkan ganjaran dari mereka?”. (HR. Ahmad).
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu beliau berkata: 'Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkan persekutuan , barang siapa melakukan suatu per-buatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan juga sekutunya." (HR. Muslim).
Ini adalah resiko yang begitu besar, ditambah potensi yang begitu besar pula bagi kita untuk ternodai olehnya. Mestinya membuat kita senantiasa bermawas diri. Adakah kita hanya rajin beramal saat di hadapan banyak orang, malas di saat sendirian, semangat ketika dipuji tapi loyo ketika dicela manusia?.

Ikhlas dan Mutaba’ah adalah Kuncinya
Yang jelas perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali. Indikasinya, bisa hadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga ash-Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali.
Jika memang amal yang dibangun di atas pondasi riya’ berakibat tidak diterimanya amalan bahkan akan mendatangkan murka Allah Subhanahu Wata’ala, maka cukuplah Ikhlas dan mutaba’ah menjadi pondasi yang kokoh diterimanya amalan seorang hamba.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman artinya : “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan’. (QS. Huud : 15-16 ).
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. 98:5).
Dalam firmanNya yang lain, artinya: "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. 67:2). Berkata Al Fudhail Ibnu Iyadl, makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu wa ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (mutaba’ah atau sesuai tuntunan Rasulullah Shallalahu ‘Alahi Wasallam ).
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala merahmati seseorang tatkala tersirat di hatinya untuk berbuat, dia berhenti sejenak seraya bertanya kepada dirinya, “Untuk siapa aku berbuat?. Jika ternyata untuk Allah, maka diapun melanjutkannya. Jika ternyata untuk selain Allah, maka dia perangi nafsunya agar niatnya kembali lurus hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala . Hal ini tak lain agar amalan seberat gunung itu tidak bernilai seringan debu. Wallahul Muwaffiq.

0 komentar:

Posting Komentar