Laisa kullu la yu’lamu yuqalu. Tidak semua yang diketahui itu harus terucapkan.Sebab Likulli Maqaamiin maqaalun. Setiap kondisi dan keadaan itu mempunyai perkataan yang tepat. (Atau jika Anda mau Anda juga bisa mengatakan bahwa setiap perkataan itu memiliki saat dan kondisi yang tepat untuk diucapkan).
Ini adalah sebuah nasehat penting bagi siapa yang diberi karunia ilmu dari Allah. Sebab nampaknya memang sulit untuk dipungkiri bahwa mengetahui saja tidaklah cukup. Karena agar pengetahuan itu jatuh di tempat yang tepat, kita membutuhkan pemahaman. Yang terakhir inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah Fiqh.
Ya, banyak yang tidak mengetahui dienullah, hanya sedikit saja yang mengetahuinya, dan dari sedikit yang mengetahui itu, semakin sedikit pula yang diberikan pemahaman. Maka untuk orang yang sangat khusus ini, sang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Mengatakan: “Man Yuridillahu bihi khairan yufaqqihhu fiddiin.” Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapatkan puncak segala kebahagiaan (kebaikan) , Maka Allah akan memahamkannya (membuatnya Faqih) terhadap diennya.
Anda mungkin pernah mendengar nama seorang tabiin besar bernama Waki’ bin Al Jarrah. Kalau Anda belum pernah mendengar namanya, tentu Anda sudah sering mendengar nama Imam Asy-Syafi’i. Nah, Imam Asy-Syafi’i ini adalah murid dari Waki’ bin Al Jarrah itu. Ketika Asy-Syafii mengalami kesulitan menghafal, para sang guru inilah ia mengadu. Nasehat sang Guru kemudian ia abadikan dalam syair yang sangat terkenal :
Kumengadukan pada Waki’ akan hafalanku yang buruk .
Lalu ia menasehatiku agar meninggalkan maksiat .
Karena ilmu itu adalah cahaya Allah.
Dan cahaya itu tak dikaruniakan kepada pelaku maksiat.
Waki’ bin Al Jarrah ini pernah mengalami kejadian yang sangat menakutkan akibat tergelincir dalam masalah yang dibahas dalam tulisan ini. Tetapi begitulah, setiap Alim di bumi ini akan mempunyai Zallah, ketergelinciran dan ketersalahan. Tidak ada yang ma’shum kecuali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Entah bagaimana kisahnya, Waki’ pernah mendengarkan sebuah riwayat tentang kisah kematian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kisah itu diriwayatkan dari seorang yang bernama Isma’il Ibn Abi Khalid. Lalu Isma’il ini meriwayatkannya dari Abdullah Al-Bakhi. Nah Abdullah Al Bakhi inilah yang kemudian mengatakan bahwa “Sahabat Abubakar As-Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu mendatangi Jenazah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian beliau bersimpuh dan menciumnya seraya mengatakan : “Duhai, alangkah indahnya hidup dan kematianmu, wahai Rasulullah. “ Setelah itu - masih berdasarkan penuturan Abdullah Al-Bahiyy - jenazah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disemayamkan selama satu hari satu malam, hingga perut beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agak membengkak demikian pula jari beliau.“ Demikianlah riwayat Abdullah Al-Bahiyy yang diterima oleh Waki’ bin Al-Jarrah.
Suatu ketika dalam sebuah majelisnya di Mekkah, dia menyampaikan riwayat ini; sebuah riwayat yang sesungguhnya adalah riwayat yang mungkar dan munqathi’ (terputus). Karena riwayat tersebut, Mekkah pun menjadi heboh. Apalagi kalangan orang Quraisy. Mereka berkumpul dan bersepakat untuk menyalib Waki’ yang dianggap telah melecehkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. dengan meriwayatkan kisah tersebut. Padahal niat Waki’ sesungguhnya sangat baik. Ketika ia ditanya mengapa ia menyampaikan riwayat itu ia mengatakan,” Beberapa orang sahabat, diantaranya Umar bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu tidak mempercayai bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mengalami kematian. Maka berdasarkan riwayat tersebut Allah kemudian menunjukkan kepada mereka beberapa tanda kematian (yaitu anggota tubuh yang berubah yang menjadi agak bengkak)”.
Sebuah alasan yang sangat masuk akal. Namun orang-orang Quraisy sudah terlanjur marah. Mereka telah menyiapkan kayu untuk menyalib Waki’ bin Al-Jarrah. Namun untunglah pertolongan Allah segera menghampirinya. Disaat yang genting itu, muncullah Sufyan bin Uyainah. Ia segera saja berteriak, “Demi Allah! Demi Allah! Jangan kalian lakukan itu! Ini adalah Faqihnya negeri Irak ,ayahnya juga seorang Alim besar disana.”
Sedangkan riwayat yang ia sampaikan itu adalah riwayat yang masyhur.” (Dan Sufyan tidak berdusta ketika mengatakan bahwa riwayat itu merupakan riwayat yang masyhur, sebab sebuah riwayat yang masyhur belum tentu shahih). Padahal seperti kata Sufyan : “Aku belum pernah mendengarkan riwayat itu sebelumnya, Aku hanya ingin menyelamatkan Waki. “
Demikianlah akhir kisah Waki’ bin Al -Jarrah, guru Imam Asy-syafi’i. Seperti kata seorang ahli sejarah besar Adz-Dzahaby. “Kisahnya sungguh aneh. Ia sesungguhnya bermaksud baik. Namun sangat disayangkan saat itu kenapa ia tidak memilih diam dan tidak menyampaikan riwayat itu. Padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Telah mengatakan : “Cukuplah menjadi dosa seseorang bila ia membicarakan setiap apa yang ia pernah dengarkan’....Hampir saja nyawanya melayang.....”
Maka seperti kata-kata hikmah, kita pun mengatakan, “.......walaisa kullu maa yuqaalu, yuqaalu fiqulli maqaam.....” -Bila tidak semua yang diketahui itu pantas terucapkan- maka tidak semua yang pantas terucapkan itupun tidak serta merta dapat diucapkan disetiap tempat, waktu, dan orang. Sebuah pesan penting untuk para pemilik ilmu untuk bersikap bijak.
Walahu A’lam.
(Sumber : Perindu-Perindu Malam, Abul Miqdad Al-Madani, Mujahid Press)
Rabu, 29 April 2009
Karena Tidak Semua yang Engkau Tahu, Harus Terucapkan ! ( Sebuah renungan untuk manajemen lisan, saat diam saat bicara )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar