Alasan Membela Bid’ah
Setelah kita mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap bid’ah adalah tercela dan amalannya tertolak, ternyata masih ada saja kerancuan di tengah-tengah masyarakat dalam memahami bid’ah ini. Meraka berdalih/beralasan dengan berbagai macam argumen. Berikut kami sajikan beberapa argumen mereka dalam membela bid’ah beserta jawabannya.
[1] Mobil, HP dan Komputer termasuk Bid’ah ....
Mereka berdalih bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini seperti mobil, komputer, HP dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang tercela. Di antara mereka mengatakan, “Kalau memang bid’ah itu terlarang, kita seharusnya memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan benar. Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah bid’ah dalam agama dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh sebelumnya seperti komputer dan pesawat.
Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah (’adat), hukum asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/86) dan ulama lainnya.
Asy Syathibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (’adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348).
Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang pada kurma –yang merupakan perkara duniawi-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan).
Kesimpulannya : Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela. Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya.
[2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an...
Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuah blog di internet.
Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut.
“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan). Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti membunuh orang yang murtad, membunuh orang Khawarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al Islam-Asy Syamilah)
Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”
Perlu diketahui pula bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah?
Mashlahah Mursalah
Maslahah Mursalah adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at, tidak ditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. (Taysir Ilm Ushul Fiqh, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama.
Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya : Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah. (Lihat : Bagan Bagaimana Memahami Bid’ah pada Edisi 026 Tahun II/ Rabiul Akhir 1430 H/ Mei 2009 M).
Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam perayaan Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik agar memahami bid’ah dengan benar-
[3] Yang Penting Kan Niatnya!
Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap bid’ah yang dia lakukan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing.”
Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang ikhlas, namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini telah kami jelaskan pada pembahasan awal di atas. Jadi, syarat diterimanya amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2] harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia melaksanakan shalat shubuh empat raka’at walaupun niatnya betul-betul ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana kisah sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.” Akan tetapi Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata : “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Al Albani bahwa atsar ini shohih).
Kesimpulan : Tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar “Niat baik semata belum cukup.”
[4] Ini Kan Sudah Jadi Tradisi di Tempat Kami…
Ini juga perkataan yang muncul ketika seseorang disanggah mengenai bid’ah yang dia lakukan. Ketika ditanya, “Kenapa kamu masih merayakan 3 hari atau 40 hari setelah kematian?” Dia menjawab, “Ini kan sudah jadi tradisi kami…”
Jawaban seperti ini sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu ketika membela kesyirikan yang mereka lakukan. Mereka tidak memiliki argumen yang kuat berdasarkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka hanya bisa beralasan, “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf [43] : 22)
Saudaraku yang semoga selalu dirahmati Allah, setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at. Namun, jika ada tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena telah mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu tertentu tanpa dalil.
Jadi, bid’ah juga bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana perkataan Asy Syathibi, “Perkara non ibadah (’adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
[5] Semua Umat Islam Indonesia bahkan para Kyai dan Ustadz Melakukan Hal Ini...
Ada juga yang berargumen ketika ritual bid’ah –seperti Maulid Nabi- yang ia lakukan dibantah sembari mengatakan, “Perayaan (atau ritual) ini kan juga dilakukan oleh seluruh umat Islam Indonesia bahkan oleh para Kyai dan Ustadz. Kok hal ini dilarang?!”
Alasan ini justru adalah alasan orang yang tidak pandai berdalil. Suatu hukum dalam agama ini seharusnya dibangun berdasarkan Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan kaum muslimin). Adapun adat (tradisi) di sebagian negeri, perkataan sebagian Kyai/Ustadz atau ahlu ibadah, maka ini tidak bisa menjadi dalil untuk menyanggah perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa meyakini bahwa adat (tradisi) yang menyelisihi sunnah ini telah disepakati karena umat telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya, maka keyakinan semacam ini jelas salah dan keliru.
Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,artinya : “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am [6] : 116).
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita taufik untuk mengikuti kebenaran bukan mengikuti kebanyakan orang.
Dan... semoga kita senantiasa mendapatkan rahmat dan taufik-Nya ke jalan yang lurus. Amin.
Referensi : www. muslim.or.id
Rabu, 06 Mei 2009
Bid’ah : Kenali dan Jauhi ! (3)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar