Assalamu Alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh... Ahlan Wa Sahlan ... Semoga Anda Memperoleh Manfaat ... Jazakallahu Khairan Atas Kunjungannya ...

Rabu, 06 Mei 2009

Bid’ah : Kenali dan Jauhi ! (2)

Setiap Bid’ah Adalah Tercela

Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal ini.

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867).

Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan, “Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i).

Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi).

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thabraniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya).

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770).
Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Wallahu A’lam.

Adakah Bid’ah Hasanah (yang Baik)?

Memang kami akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata, “Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah).

Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khaththab tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010).

Akan tetapi, shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ’sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.

Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.”

Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ’sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama, pen)’, ’setiap bid’ah adalah sesat’, dan ’setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Prof. Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)

Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya: semua) pada hadits, “Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.

Asy Syathibi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Daar Ar Royah)

Terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan, “Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”

Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah 5/11)

Lihatlah, bagaimana sahabat rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).

Tingkatan Bid’ah

Setiap bid’ah dalam agama memang tercela. Akan tetapi bid’ah itu bertingkat-tingkat, sebagaimana dosa juga bertingkat-tingkat. Dosa ada yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir, ada pula yang terhitung maksiat tanpa keluar dari Islam. Bid’ah pun demikian.
a. Di antara bid’ah ada yang menyebabkan pelakunya kafir (mukaffirah) . Seperti orang yang merubah al-Qur’an, baik menambah, mengurangi maupun menggantinya lalu diatasnamakan bagian dari Al-Qur’an.
b. Ada pula yang tidak menyebabkan pelakunya kafir, seperti puasa wishal (berhari-hari tanpa berbuka).

Bid’ah yang tidak menyebabkan kafir masih dibagi lagi dengan bid’ah kabiirah (bid’ah yang besar) dan bid’ah shaghiirah (bid’ah yang kecil). Dikatakan bid’ah besar jika menyangkut perkara-perkara yang dharuri dan pokok, adapun yang menyangkut perkara-perkara yang tahsini (kesempurnaan suatu amal) atau perkara cabang, maka digolongkan sebagai bid’ah shaghiirah.

Imam Asy-Syathibi dalam Al-I’tisham menyebutkan, bahwa bid’ah yang kecil tetap dianggap kecil apabila :

Pertama, Tidak dilakukan secara terus menerus. Karena dosa kecil apabila dilakukan terus menerus akan menjadi besar. Karena itu, di antara ulama ada yang berkata, “Tiada dikatakan dosa kecil bila dilakukan secara terus mnerus, dan tiada dikatakan dosa besar bila diringi dengan taubat.”

Kedua, Pelaku bid’ah itu tidak menyebarkannya. Karena bisa jadi bid’ah yang dilakukan kecil, akan tetapi ketika dia menyebarkannya, maka ia turut menanggung dosa-dosa orang yang mengkuti seruannya.

Ketiga, apabila dia tidak melakukannya di saat banyak orang, atau tempat dimana semestinya ditegakkan sunnah. Karena ini berpotensi diikuti orang dan menimbulkan madharat bagi sunnah dalam Islam.

Keempat, apabila ia tidak menganggapnya remeh. Karena tindakan meremehkan suatu dosa itu lebih besar dari dosa itu sendiri. Alangkah indah nasihat seorang salaf, “Jangan kau lihat kecilnya dosa, tapi lihatlah, kepada siapa kamu berdosa.” Tidak ada sesuatu yang remeh bila berhubungan dengan Allah.

Wal hasil, bid’ah dalam segala tingkatannya wajib untuk kita hindari, meskipun kecil. Karena apa yang dilarang oleh Nabi harus kita tinggalkan, dan apa yang diperintahkan kepada kita, hendaknya kita lakukan semampu kita.

Dampak Buruk Bid’ah

1. Amalan Bid’ah Tertolak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).
Orang yang berbuat bid’ah inilah yang amalannya merugi. Allah Ta’ala berfirman, artinya : “Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi [18] : 103-104).

2. Pelaku bid’ah terhalangi untuk bertaubat selama dia terus menerus dalam bid’ahnya. Oleh karena itu, ditakutkan dia akan mengalami su’ul khotimah.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Thabrani. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 54)

3. Pelaku bid’ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak akan mendapatkan syafa’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049).
Dalam riwayat lain dikatakan, “(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051).

4. Pelaku bid’ah akan mendapatkan dosa jika amalan bid’ahnya diikuti orang lain.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017). Wallahu A’lam.
(Insya Allah Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar